KOMPAS.com - ”Ahhh... Rasanya seperti habis melahirkan!” Begitulah Sundari Mardjuki (37) mengungkapkan perasaan lega dan bahagia melihat novel pertamanya, ”Papap, I Love You”, terpajang di rak toko buku.
Bagi Sundari, merupakan perjuangan berat untuk menulis sendiri novel setebal 424 halaman, menembus penerbit, hingga akhirnya karyanya terpajang di toko buku. Sehari-hari, Sundari bekerja sebagai Manajer Pemasaran dan Komunikasi PT Sony Music Entertainment Indonesia. Tekad Sundari menulis buku berawal tiga tahun lalu ketika ia menyaksikan pergulatan sahabatnya, seorang pria yang jadi orangtua tunggal.
”Saya bilang padanya, saya harus menulis cerita tentang dia. Waktu itu belum tahu dalam bentuk apa. Apalagi, saya juga tidak tahu teorinya,” ujarnya.
Ia pun kemudian mulai mengumpulkan bahan, termasuk dengan mewawancarai para pria orangtua tunggal lainnya. Ada kendala, karena sebagian besar pria-pria itu jadi orangtua tunggal karena bercerai. Mereka juga tak biasa curhat urusan pribadi. Toh, Sundari mengatasi kesulitan itu.
Pada 2010, Sundari tinggal setahun di Amsterdam, Belanda, mengikuti tugas suaminya. Di sana, di sela kesibukan mengurus dua anak, ia menulis cerita dari bahan yang sudah terkumpul. Keterampilan menulis juga ia asah dengan mengikuti beberapa lokakarya penulisan.
Setelah naskah selesai, perjuangan berikutnya adalah menggaet penerbit buku. ”Mendapat penerbit tak mudah. Saya senang ketika penerbit pertama langsung tertarik. Tetapi mereka meminta mengubah beberapa isi tulisan. Saya menolak karena tulisan ini seperti bayi saya. Kalau harus ada yang dihilangkan, esensinya juga hilang,” tutur Sundari.
Menggali kenangan
Iwan Setyawan (37) juga berjuang keras untuk menulis buku pertamanya. Ia menuangkan kisah hidupnya dalam novel 9 Summers 10 Autumns, dari Kota Apel ke The Big Apple (2011). Di situ, tergambar perjalanan anak keluarga miskin di Batu, Jawa Timur, ini jadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, hingga menduduki posisi strategis di Nielsen Consumer Research, New York, Amerika Serikat.
Meski hobi menulis puisi, Iwan baru menyadari bahwa membuat tulisan panjang berupa buku butuh energi dan pengorbanan besar. ”Tetapi memberikan kepuasan luar biasa juga,” katanya.
Kampung halamannya di Batu, Jawa Timur, jadi tempat ideal bagi Iwan untuk menggali kenangan. Ia banyak berbincang dengan ayah, ibu, dan keempat saudara perempuannya untuk menyegarkan kembali ingatan. Bagi laki-laki yang gemar yoga ini, menulis bak meditasi. Karenanya, ia menulis sendiri kisahnya.
Sementara Oki Setiana Dewi (23) menggunakan buku harian sebagai sumber penulisan buku pertamanya, Melukis Pelangi (2011). Kata Oki, itulah cara termudah untuk mulai menulis buku.
Pemeran film dan sinetron yang baru merampungkan studi di Sastra Perancis Universitas Indonesia ini sudah menulis tiga buku dalam setahun terakhir. Dua bukunya yang lain adalah Sejuta Pelangi (2011) dan Cahaya di Atas Cahaya (2012).
Di buku pertamanya, Oki mendeskripsikan suasana batin dengan begitu menyentuh. ”Ada pembaca yang bilang ia nangis baca buku saya, itu karena saya nulis-nya juga sambil nangis,” ujarnya.
Saat ini, Oki masih menyimpan cita-cita untuk menulis buku tentang pengasuhan anak. ”Itu buku yang butuh ilmu dan pengalaman panjang,” ujar Oki, yang kini melanjutkan studi Pascasarjana Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Jakarta.
Meski karya penulis pemula, memoar Melukis Pelangi karya Oki serta novel 9 Summers 10 Autumnskarya Iwan laris di toko buku. Sejak 2011, Melukis Pelangi telah dicetak ulang sembilan kali, sedangkan 9 Summers dan 10 Autumns sudah delapan kali dicetak ulang.
Penulis dan pengamat buku Arswendo Atmowiloto menjelaskan, pengalaman pribadi menjadi titik awal yang baik untuk dituangkan jadi buku. Namun, untuk kelanjutan berkarya, pengalaman pribadi ini perlu diperkaya dengan opini, imajinasi, pengamatan, dan pendalaman wawasan.
Bagi Sundari, merupakan perjuangan berat untuk menulis sendiri novel setebal 424 halaman, menembus penerbit, hingga akhirnya karyanya terpajang di toko buku. Sehari-hari, Sundari bekerja sebagai Manajer Pemasaran dan Komunikasi PT Sony Music Entertainment Indonesia. Tekad Sundari menulis buku berawal tiga tahun lalu ketika ia menyaksikan pergulatan sahabatnya, seorang pria yang jadi orangtua tunggal.
”Saya bilang padanya, saya harus menulis cerita tentang dia. Waktu itu belum tahu dalam bentuk apa. Apalagi, saya juga tidak tahu teorinya,” ujarnya.
Ia pun kemudian mulai mengumpulkan bahan, termasuk dengan mewawancarai para pria orangtua tunggal lainnya. Ada kendala, karena sebagian besar pria-pria itu jadi orangtua tunggal karena bercerai. Mereka juga tak biasa curhat urusan pribadi. Toh, Sundari mengatasi kesulitan itu.
Pada 2010, Sundari tinggal setahun di Amsterdam, Belanda, mengikuti tugas suaminya. Di sana, di sela kesibukan mengurus dua anak, ia menulis cerita dari bahan yang sudah terkumpul. Keterampilan menulis juga ia asah dengan mengikuti beberapa lokakarya penulisan.
Setelah naskah selesai, perjuangan berikutnya adalah menggaet penerbit buku. ”Mendapat penerbit tak mudah. Saya senang ketika penerbit pertama langsung tertarik. Tetapi mereka meminta mengubah beberapa isi tulisan. Saya menolak karena tulisan ini seperti bayi saya. Kalau harus ada yang dihilangkan, esensinya juga hilang,” tutur Sundari.
Menggali kenangan
Iwan Setyawan (37) juga berjuang keras untuk menulis buku pertamanya. Ia menuangkan kisah hidupnya dalam novel 9 Summers 10 Autumns, dari Kota Apel ke The Big Apple (2011). Di situ, tergambar perjalanan anak keluarga miskin di Batu, Jawa Timur, ini jadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, hingga menduduki posisi strategis di Nielsen Consumer Research, New York, Amerika Serikat.
Meski hobi menulis puisi, Iwan baru menyadari bahwa membuat tulisan panjang berupa buku butuh energi dan pengorbanan besar. ”Tetapi memberikan kepuasan luar biasa juga,” katanya.
Kampung halamannya di Batu, Jawa Timur, jadi tempat ideal bagi Iwan untuk menggali kenangan. Ia banyak berbincang dengan ayah, ibu, dan keempat saudara perempuannya untuk menyegarkan kembali ingatan. Bagi laki-laki yang gemar yoga ini, menulis bak meditasi. Karenanya, ia menulis sendiri kisahnya.
Sementara Oki Setiana Dewi (23) menggunakan buku harian sebagai sumber penulisan buku pertamanya, Melukis Pelangi (2011). Kata Oki, itulah cara termudah untuk mulai menulis buku.
Pemeran film dan sinetron yang baru merampungkan studi di Sastra Perancis Universitas Indonesia ini sudah menulis tiga buku dalam setahun terakhir. Dua bukunya yang lain adalah Sejuta Pelangi (2011) dan Cahaya di Atas Cahaya (2012).
Di buku pertamanya, Oki mendeskripsikan suasana batin dengan begitu menyentuh. ”Ada pembaca yang bilang ia nangis baca buku saya, itu karena saya nulis-nya juga sambil nangis,” ujarnya.
Saat ini, Oki masih menyimpan cita-cita untuk menulis buku tentang pengasuhan anak. ”Itu buku yang butuh ilmu dan pengalaman panjang,” ujar Oki, yang kini melanjutkan studi Pascasarjana Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Jakarta.
Meski karya penulis pemula, memoar Melukis Pelangi karya Oki serta novel 9 Summers 10 Autumnskarya Iwan laris di toko buku. Sejak 2011, Melukis Pelangi telah dicetak ulang sembilan kali, sedangkan 9 Summers dan 10 Autumns sudah delapan kali dicetak ulang.
Penulis dan pengamat buku Arswendo Atmowiloto menjelaskan, pengalaman pribadi menjadi titik awal yang baik untuk dituangkan jadi buku. Namun, untuk kelanjutan berkarya, pengalaman pribadi ini perlu diperkaya dengan opini, imajinasi, pengamatan, dan pendalaman wawasan.
(Yulia Sapthiani & Nur Hidayati)
No comments:
Post a Comment