Showing posts with label Character Education. Show all posts
Showing posts with label Character Education. Show all posts

Thursday, April 27, 2017

Cara Jitu Tingkatkan Kepercayaan Diri Anak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasa percaya diri anak ternyata berpengaruh pada kehidupan di masa depannya. Ini diperlukan untuk membantu anak menghadapi situasi apapun serta mengajarkan nilai-nilai positif sejak kecil.

Psikolog Anak, Elizabeth Santosa, mengatakan keterlibatan orangtua dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak tentu sangat dibutuhkan. Untuk mencapainya orangtua dapat mengajak si kecil melakukan kegiatan di dalam maupun luar rumah yang menyenangkan dan menantang. 

"Waktu yang berkualitas salah satu pola asuh untuk mendukung anak tumbuh penuh dengan cinta dan juga orangtua harus terlibat dengan semua kegiatan bersama anak selalu ada setiap event dalam hidupnya," kata Elizabeth kepada Republika.co.id di Jakarta.

Menurutnya, rasa percaya diri pada anak dimulai dari diri orangtua itu sendiri. Melalui interaksi dengan orang lain, anak pasti akan meniru apa yang orangtuanya lakukan.

"Children see, children do. Jadi orangtuanya itu berperilaku apa pasti anaknya ikut. Kalau anak dibuat percaya diri berarti dia harus lebih berani kan, berarti orangtuanya juga harus berani. Contoh yang bisa kita lakukan adalah kalau kita di tempat main, ada anak kecil, nah kita tanya 'hai adik...', jadi anak kita ngikut. Terus mama-mama itu bisa sempatkan waktu lah untuk bisa aktif sama mama-mama lain", tutur Lizzie, panggilan akrabnya.

Menurut Lizzie, kontak emosional dan fisik dengan orang lain dilakukan supaya orangtua dan anak bisa saling dekat dengan satu sama lain. Kemudian orang tua pun tentunya bisa memonitor si buah hati.

Biasanya, orangtua yang serba berani melakukan sesuatu, berani berpendapat atau mengambil risiko, kemungkinan anak akan seperti itu pula. "Mama yang pede biasanya jarang anaknya tidak pede. Pasti pede juga. Kecuali memang karakternya memang sudah pemalu dari awal. Tapi saya rasa semua itu bisa dilatih," ucapnya.

Selain itu, kehadiran orangtua saat anak tampil di sekolah, juga dapat membantu anak tumbuh dengan percaya diri yang kuat karena anak akan merasa didukung sepenuhnya. Untuk mendukung orangtua Indonesia mewujudkan anak-anak yang ekspresif dan membanggakan orangtua, Cussons menyelengarakan kompetisi foto dan video bayi dan anak usia nol sampai tujuh tahun bertema Wujud Ekspresif Anak 'Tumbuh dengan Cinta'.

"Ajang kompetisi kali kelima ini yang bukan sekadar kompetisi foto dan video biasa, tapi merupakan sebuah media yang tepat untuk memperlihatkan bagaimana eratnya ikatan orangtua dan anak dalam mengabadkkan momen anak yang tumbuh dengan cinta," ujar Marketing Director PT PZ Cussons Indonesia, Ningcy Yuliana.

Elizabeth turut menyampaikan bahwa kompetisi seperti ini merupakan salah satu cara tepat agar anak berani tampil untuk menumbuhkan rasa percaya diri. "Mengabadikan keceriaan buah hati secara alami melalui media foto dan video sudah menjadi kegiatan yang tidak asing bagi orangtua dan kegiatan ini akan menumbuhkan anak dengan cinta," ujar Elizabeth.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/17/03/29/onkksw328-cara-jitu-tingkatkan-kepercayaan-diri-anak

Sunday, July 14, 2013

9 Cara Mudah Lejitkan Daya Ingat

akarta, Pikiran Anda tiba-tiba terganggu dan sering lupa? Jangan khawatir, Anda tak perlu repot-repot minum obat peningkat daya ingat otak. Ada cara-cara simpel yang bisa Anda lakukan untuk melejitkan daya ingat.

Berikut ini aneka kegiatan mudah untuk meningkatkan konsentrasi dan daya ingat otak, seperti dikutip dari Times of India, Jumat (12/7/2013):

1. Kunyah Permen Karet

Para ahli mengatakan bahwa permen membantu mengurangi pembentukan bakteri dan memperkuat otot rahang. Selain itu, permen karet juga bisa membuat Anda lebih waspada danberkonsentrasi. Mengunyah permen karet rasa mint juga bisa mengurasi rasa lelah dan meningkatkan memori.

2. Makan Dark Chocolate

Dark chocolate bisa meningkatkan memori otak Anda dengan adanya kandungan flavanoids di dalamnya. Flavanoids adalah zat kimia dalam otak yang bia meningkatkan keterampilan kognitif dengan menciptakan neuron baru di otak. Flavanoids juga bisa meningkatkan kemampuan otak untuk membuat kenangan baru dan juga meningkatkan aliran darah ke otak.

3. Memandang Gambar yang Bagus

Cobalah pandang foto bayi atau binatang kecil yang lucu dan menggemaskan. Para ahli mengatakan dengan melihat gambar yang menyenangkan dan membuat Anda tersenyum akan meningkatkan tingkat konsentrasi Anda. Jadi, saat sedang fokus mengerjakan sesuatu, istirahatlah sejenak dan pandangi gambar-gambar yang memiliki tampilan menyenangkan serta menarik.

4. Melamun

Melamun sejenak tak ada salahnya bagi Anda. Ketika Anda membiarkan pikiran mengembara sedikit, itu akan memberi otak Anda waktu istirahat. Peneliti mengatakan pikiran manusia menjadi lebih aktif dan lebih baik dalam memecahkan masalah ketika sebelumnya mereka melamun sejenak. 

5. Lakukan Percakapan

Usahakan agar Anda sering berinteraksi dengan orang lain, misalnya mengobrol atau terlibat perbincangan serius. Menurut penelitian, saat Anda mengisolasi diri dari orang-orang sekitar, Anda akan mengalami penurunan mental di kemudian hari. Manusia sudah dilengkapi dengan berbagai keterampilan komunikasi yang perlu digunakan. Makin luas kontak sosial seseorang, kemampuan kognitifnya makin tinggi dan risiko penuaan dini pun lebih rendah. 

6. Bermain Video Game

Penelitian mengatakan bahwa bermain video game bisa melatih pikiran Anda serta meningkatkan daya ingat. Selain itu, konsentrasi, tingkat kewaspadaan, dan kemampuan beralih tugas untuk mengambil alternatif lain bisa dilakukan lebih cepat.

7. Pekerjakan Otak

Jika Anda ingin meningkatkan fungsi kognitif otak, maka cobalah beberapa kegiatan yang membutuhkan perhatian atau memori yang lebih tajam, misalnya latihan menembak.

8.Belajar Menyanyi atau Memainkan Alat Musik

Musik memiliki berbagai manfaat. Belajar bagaimana memainkan alat musik atau bahkan bernyanyi akan menjadi latihan menyenangkan sekaligus menantang bagi otak Anda. Berikan dorongan yang sangat dibutuhkan otak dan cari tahu minat Anda dalam bermusik. 

9. Istirahat

Mencoba konsentrasi guna menemukan solusi dari masalah, tapi selalu gagal? Itu berarti otak Anda butuh istirahat. Fokuslah pada sesuatu yang lain, atau tinggalkan sejenak aktivitas Anda dengan pergi keluar rumah untuk mencari udara segar.

Sumber : http://health.detik.com/read/2013/07/12/072543/2300198/763/9-cara-mudah-lejitkan-daya-ingat?l771108bcj

Thursday, July 11, 2013

Ini Isi Otak Orang-orang yang Mudah Meyakinkan Orang Lain

Los Angeles, Manusia setiap saat bisa mati, tetapi gagasannya akan selalu dikenang sepanjang masa. Penyebaran gagasan di otak melibatkan proses kreatif yang selama ini hanya dipahami secara samar-samar. Kini, ilmuwan berupaya untuk mengungkap seperti apa sebenarnya proses di dalamnya.

Psikolog di University of California Los Angeles (UCLA) meneliti bagaimanakah seseorang bisa sukses menyebarkan sebuah ide atau gagasan. Dalam laporan yang diterbitkan jurnal Psychological Science, peneliti melihat bagaimana pemetaan daerah di otak terkait proses kreatif yang terjadi.

"Sebelum penelitian ini, kami tidak tahu daerah mana di otak yang berhubungan dengan penularan ide-ide. Kami juga tidak tahu daerah apa yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi menjadi komunikator yang efektif," kata peneliti, Emily Falk seperti dilansir Health24, Selasa (9/7/2013).

Pertama-tama, sebanyak 19 mahasiswa UCLA yang rata-rata berusia 21 tahun menjalani pemeriksaan scan otak fMRI sambil mendengar dan melihat 24 program televisi yang belum ditayangkan secara luas. Kesemua peserta ini diminta membayangkan dirinya sebagai pegawai magang di kantor televisi.

Mereka bertugas merekomendasikan tayangan yang baru saja ditonton ke produser. Sementara itu, kelompok lain yang terdiri dari 79 mahasiswa UCLA dengan usia yang sama diminta berperan sebagai 'produser'. Mereka diminta menonton video penilaian dari staf magang kemudian membuat penilaiannya sendiri.

Hasilnya, peneliti menemukan bahwa pegawai magang yang sangat berhasil membujuk produser mengalami aktivasi pada daerah otak yang disebut temporoparietal junction (TPJ). Ketika pertama kali melihat tayangan program televisi yang dirasa menarik, mereka langsung merekomendasikannya.

Aktivasi TJP pada orang-orang ini lebih banyak daripada pegawai magang yang kurang berhasil membujuk produser. Aktivasinya juga lebih besar daripada ketika melihat tayangan yang tidak disukai. Para psikolog menyebut fenomena ini dengan 'the salesperson effect' atau 'efek penjual'.

"Itu adalah satu-satunya wilayah di otak yang menunjukkan efek ini. Awalnya kami berpikir daerah otak yang berhubungan dengan memori akan lebih banyak menunjukkan aktivasi, tapi itu tidak terjadi," kata Matthew Lieberman, profesor psikologi dan psikiatri UCLA.

Peneliti menemukan, peningkatan aktivitas yang terjadi di area TPJ berkaitan dengan peningkatan kemampuan untuk meyakinkan orang lain agar mau sepaham dengan ide-ide favoritnya.

Daerah TPJ terletak pada permukaan luar otak. Daerah ini masuk dalam bagian yang dikenal sebagai jaringan mental otak yang berfungsi memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau rasakan. Selain TJP, jaringan mental ini mencakup korteks prefrontal dorsomedial yang terletak di bagian tengah otak.

"Segera setelah Anda mendengar lelucon yang bagus, Anda berpikir, 'Siapa yang bisa saya ceritakan lelucon ini dan yang tidak bisa saya ceritakan?' Membuat keputusan ini akan mengaktifkan 2 daerah otak. Aktivasi kedua daerah ini membuat kita ingin memberitahu orang lain," kata Lieberman.

Sumber : http://health.detik.com/read/2013/07/09/082952/2296407/763/ini-isi-otak-orang-orang-yang-mudah-meyakinkan-orang-lain?l771108bcj

Tuesday, April 10, 2012

Meningkatkan Daya Konsentrasi Siswa, Inilah Caranya

REPUBLIKA.CO.ID, Belajar di kelas merupakan proses yang kompleks. Anak mesti memperhatikan guru secara penuh dan berkonsentrasi terhadap materi yang di ajarkan. Namun, kenyataannya, itulah yang paling sering lenyap ketika mereka duduk di bangku kelas.

Terdengar akrab dengan polah ananda? Cobalah melibatkan anak ke dalam aktivitas fisik. Sebuah riset yang dilakukan oleh peneliti asal Italia memantau keterkaitan antara kedua hal tersebut.

Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, peneliti memantau hasil tes uji ketajaman otak 138 anak berusia delapan hingga 11 tahun pada sejumlah kondisi. Beberapa di antaranya melibatkan aktivitas fisik dan tanpa kegiatan olah fisik.

“Para guru sering kali mengeluhkan siswanya kehilangan perhatian dan konsentrasi dalam meng ikuti instruksi akademik setelah bebe rapa saat belajar,” kata first study author Maria Chiara Gallotta dari University of Rome, Italia, seperti dikutip HealthDay News.

Kunci keberhasilan proses belajar, lanjut Gallotta, ada pada atensi dan konsentrasi. Terutama, pada masa perkembangan anak. “Aktivitas fisik menyumbang 10 poin peningkatan daya konsentrasi anak, sedangkan tes mental terkait ujian akademik sebelum ujian sesungguhnya menambah daya konsentrasi 13 persen.”

Pengamatan dilakukan selama tiga pekan. Anak-anak dijadwalkan untuk mengikuti tiga sesi ujian yang masing-masing harus dituntaskan dalam 50 menit. Sebelum menjawab soal pertama, mereka terlebih dulu melakukan sebentuk aktivitas fisik. Lalu, pada tes kedua, mereka hanya perlu mengerjakan soal akademik. Pada tes ketiga, mereka berpartisipasi dalam kegiatan fisik dan akademik.

Seluruh tes tersebut dirancang sebagai instrumen untuk memantau kemahiran mempertahankan konsentrasi sekaligus kualitas jawaban responden ciliknya. Hasilnya, anak-anak menunjukkan kinerja terbaiknya menyusul aktivitas fisik ataupun aktivitas akademik.

“Namun, mereka merosot kemampuannya ketika tes digabung,” tutur Gallotta yang penelitiannya dimuat pada edisi Maret Medicine & Science in Sports & Exercise.

Sumber :http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/10/m28z2v-meningkatkan-daya-konsentrasi-siswa-inilah-caranya

Wednesday, April 4, 2012

Anak Pertama, Haruskah Serba Pertama?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Melihat mata bening anak pertama, setiap wanita yang menjadi ibu pertama kalinya menyadari bahwa telah diberi anugerah makhluk cantik, cerdas, dengan banyak kemampuan yang pernah ada. Kehadiran anak pertama bagi orang tua--terutama yang berambisi besar dalam pendidikan--evolusi sang anak menjadi perhatian utama dari hari-ke hari.

Setiap orang tua mungkin mengalami pengalaman serupa, sehingga tidak mengejutkan jika sebuah penelitian mengungkapkan kerap kali orang tua memberi perhatian lebih besar kepada anak pertama dari adik-adiknya. Orang tua seolah memiliki misi besar dan rencana untuk membawa si pembaharu mungil agar menjadi pribadi yang paling cermelang dan berharap mereka adalah karunia.

Hanya waktu dan perkembangan anak yang akhirnya meruntuhkan harapkan itu. Bagi sebagian orang tua, kadang membutuhkan waktu 18 tahun untuk menemukan jika anak pertama mereka hanyalah satu dari anggota manusia lain, tak lebih. Banyak orang tua tak percaya atau kecewa saat mengetahui anak mereka gagal masuk universitas top, paling bergengsi di negaranya, atau mengalami kegagalan-kegagalan lain.

Hasil mengejutkan muncul dalam riset yang dilakukan Universitas College, London. Kesimpulan para ahli peneliti, anak-anak lahir pertama mendapat kemudahan dari tindakan berlebihan orang-tua yang "buta" dan itulah yang membentuk mereka.

David Lawson dan Professor Ruth Mace, yang melakukan studi terhadap 1.400 keluarga, menunjukkan adanya kemiripan proses pendidikan anak pertama dengan kebijakan warisan aristokrat di mana pemenang mengambil segalanya. Tradisi itu menyisakan saudara muda dengan hanya pilihan pada tentara, gereja, pernikahan dan karir seadanya.

Lawson dan Mace membicarakan "Ketidakberuntungan lahir kedua dan berikutnya", dan "kekurangan" dalam perawatan orang tua. Anak tertua kadang memiliki tes IQ lebih tinggi bukan karena mereka memang pintar, melainkan mereka menghabiskan banyak waktu memiliki percakapan dewasa berharga dengan orang tua.

Sebagai hasil, mereka sering menjadi anak berprestasi dengan pencapaian tinggi. Namun ada risiki laten karena di sisi lain mereka menyimpan kelelahan dari beban harapan orang tua. Depresi, sulit mengungkapkan, dan rasa kegagalan menggerogoti menjadi harga mahal untuk membayar perhatian tak seimbang itu.

Tak jarang si anak mengembangkan sikap penentangan bila dihadapkan pada situasi tesebut. Malas, bahkan menolak pergi ke sekolah, tak ingin terlibat semua organisasi dan aktivitas. Bila demikian tentu orang tua harus mulai mengubah cara pengasuhan dan melihat anak mereka pun seperti anak lain yang memiliki ketertarikan sendiri, dapat salah, dapat berhasil, namun mungkin juga gagal.

Orang tua harus menerima apa yang ingin anak lakukan dan apa yang anak inginkan terlepas dari mimpi besar orang tua. Cassandra Jardine, ahli tumbuh kembang anak sekaligus pengasuh rubrik parenting di Daily Telegraph, Inggris menuturkan, ia pun dulu begitu menekankan mimpi besarnya pada si anak pertama. Saat muncul resistensi dari sang anak, barulah timbul kesadaran bahwa sang anak memiliki hak untuk menikmati dunianya.

Bahkan suatu hari, si sulung tersebut mengatakan pada Cassandra jika ia bisa memilih ia ingin terlahir bukan sebagai anak pertama. "Lucunya orang tua kemudian menjadi lebih baik dan bijak pada pengasuhan pada anak berikut," ujar Cassandra.

Cara paling bijaksana adalah selalu menanyakan pada setiap anak, termasuk anak pertama opini mereka tanpa menghiraukan pendapat anggota keluarga lain yang lebih muda. Ketika orang tua mulai tidak menunjukkan rasa khawatir berlebih, justru--menurut penelitian-- anak-anak kian menunjukkan bakat terbaiknya.

Semakin anak-anak merasa nyaman dan bahagia, hasil sekolah mereka pun jauh dari nilai buruk, dan mereka tetap dapat melakukan banyak hal yang mereka inginkan. Itu jelas merupakan berkah bagi orang tua.

Sumber :
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: parenting.com
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/04/m1ykk1-anak-pertama-haruskah-serba-pertama

Thursday, January 26, 2012

Character Principles : SDIT Anak Sholeh Sedayu Bantul

1.Your character is defined by what you do, not what you say or believe.
2.Every choice you make helps define the kind of person you are choosing to be.
3.Good character requires doing the right thing, even when it is costly or risky.
4.You don't have to take the worst behavior of others as a standard for yourself. 5.You can choose to be better than that.
6.What you do matters, and one person can make a big difference.
7.The payoff for having good character is that it makes you a better person and it makes the world a better place.

Sumber : http://goodcharacter.com/

Wednesday, January 25, 2012

How to Do Character Education : SDIT Anak Sholeh Sedayu Charater

How to Do Character Education
by
David H. Elkind and Freddy Sweet Ph.D.


This article first appeared in the Sept/Oct 2004 issue of Today's School under the title: "You Are A Character Educator."

Let’s get one thing perfectly clear – you are a character educator. Whether you are a teacher, administrator, custodian, or school bus driver, you are helping to shape the character of the kids you come in contact with. It’s in the way you talk, the behaviors you model, the conduct you tolerate, the deeds you encourage, the expectations you transmit. Yes, for better or for worse, you already are doing character education. The real question is what kind? Are you doing it well or poorly? By design or by default? And what kinds of values are you actually teaching?

Simply put, character education (CE) is everything you do that influences the character of the kids you teach. But to put it in a more focused light, we like Dr. Thomas Lickona’s definition, that “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values.” In his landmark book, Educating for Character,1 Dr. Lickona asserts that “When we think about the kind of character we want for our children, it’s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right—even in the face of pressure from without and temptation from within.”

What’s especially useful about Dr. Lickona’s model is that it describes a developmental process that involves knowledge, feelings, and action, and thereby provides an integrated foundation on which to structure a coherent and comprehensive CE effort. It tells us that we need to engage our kids in activities that make them think critically about moral and ethical questions, inspire them to become committed to moral and ethical actions, and give them ample opportunities to practice moral and ethical behavior.
What Does Character Education Look Like?

This is a highly controversial issue, and depends largely on your desired outcome. Many people believe that simply getting kids to do what they’re told is character education. This idea often leads to an imposed set of rules and a system of rewards and punishments that produce temporary and limited behavioral changes, but they do little or nothing to affect the underlying character of the children. There are others who argue that our aim should be to develop independent thinkers who are committed to moral principals in their lives, and who are likely to do the right thing even under challenging circumstances. That requires a somewhat different approach, and is the bias of this article.

CE initiatives can be very modest, like one good teacher doing a few things right, or they can be very elaborate, involving everybody and everything in the school. What you do will probably depend on your circumstances. Here are some options.
The Holistic Approach

“Effective character education is not adding a program or set of programs to a school. Rather it is a transformation of the culture and life of the school.” 2
-—Dr. Marvin Berkowitz

Popular wisdom holds that the best way to implement character education is through a holistic approach that integrates character development into every aspect of school life. This approach is also known as whole school reform, and it’s a biggie. Here are some of the distinguishing features of the holistic model:

• Everything in the school is organized around the development of relationships between and among students, staff, and community.

• The school is a caring community of learners in which there is a palpable bond connecting the students, the staff, and the school. (see Build a Caring Community, below)

• Social and emotional learning is emphasized as much as academic learning.

• Cooperation and collaboration among students are emphasized over competition.

• Values such as fairness, respect, and honesty are part of everyday lessons in and out of the classroom.

• Students are given ample opportunities to practice moral behavior through activities such as service learning (see below).

• Discipline and classroom management concentrate on problem-solving rather than rewards and punishments.

• The old model of the teacher-centered classroom is abandoned in favor of democratic classrooms where teachers and students hold class meetings to build unity, establish norms, and solve problems.

Obviously, this is a best-of-all-possible-worlds approach and requires a significant commitment from the administration and teaching staff. Also, it is usually a multi-year process involving consultants, staff development, and a serious budget.

But, what if you can’t do all the things listed above? Not to worry. CE is not an all-or-nothing enterprise. Even if you can’t restructure the whole school there is still a lot you can do to provide meaningful character building experiences for your students. The rest of this article lays out a smorgasbord of activities that have been shown to produce positive effects. We invite you to window-shop and pick out whatever you think will work well for you. Done right, it’s all good stuff.
The Smorgasbord Approach

Build a Caring Community

By “caring community” we mean that everybody in the school—students, staff, administration—treats everyone else with kindness and respect. To accomplish such a lofty goal, your students will need to play an active role in shaping the culture and environment of the classroom, as well as of the school at large. Here are some ways to make that happen.

• Hold class meetings in which students establish group goals, decide on rules of conduct, plan activities, and solve problems.

• Have your students collaborate on academic tasks by working in cooperative learning groups. Give them regular opportunities to plan and reflect on the ways they work together.

• Organize a Buddies program in which younger and older students get together to work one-on-one on academic tasks and other kinds of activities.

• Teach conflict resolution and other social skills so that students become skilled at resolving conflicts fairly and peacefully.

These strategies help students learn to establish and maintain positive relationships with others. They also turn the school into a laboratory where students practice the kinds of roles, and cope with the kinds of challenges, they will face in later life.

Copyright Elkind+Sweet Communications / Live Wire Media.
Reprinted by permission. Copied from www.GoodCharacter.com.