Tuesday, April 17, 2012

Penerimaan Siswa Didik Baru SDIT Anak Sholeh Sedayu tahun 2012

Flyers Penerimaan Siswa Didik Baru SDIT Anak Sholeh Sedayu Bantul 2012


Brochure Penerimaan Siswa Didik Baru SDIT Anak Sholeh Sedayu Bantul

Saturday, April 14, 2012

Mengajarkan Anak Berbagi, Inilah Rumusnya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nina Chairani

Berbagi termasuk kata yang mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Begitu keluhan sebagian orang tua. Kakak enggan berbagi mainan dengan si adik. Adik tak mau membagi makanannya untuk sang kakak.

"Kalaupun mereka akhirnya mau, harus dengan paksaan pihak ketiga,” kata Sulistyani Priyanto (42 tahun) tentang anak-anaknya. Ibu dua anak yang masih duduk di bangku SD ini khawatir buah hatinya bakal tumbuh menjadi anak egois. Ya, berbagi terhadap sesama manusia menjadi kunci pengendalian egoisme yang telah merasuk dalam tatanan kehidupan manusia sekarang ini.

Berbagi merupakan sebuah hal kecil yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sayangnya, masih ada di antara kita yang belum peduli terhadap perbuatan ini. Padahal, kebiasaan berbagi dapat menjadi awal kepekaan kita terhadap sesama. Hal ini seharusnya ditanamkan oleh orang tua kepada anak sejak dini.

Bahkan, Dra Rustika Thamrin Psi, psikolog yang telah mendalami masalah pengasuhan selama 14 tahun, menyatakan seharusnya orang tua, terlebih ibu, sudah mengajarkan anaknya untuk berbagi sejak dalam kandungan. Sebab, saat ibu mengandung terdapat spektrum energi yang begitu kuat yang menghubungkan keduanya sehingga si janin mengerti setiap kegiatan baik yang dilakukan ibunya. Ajaklah anak kita berkomunikasi saat masih dalam kandungan dan ajarkan untuk berbagi. Dengan begitu, si anak akan terbiasa melakukan perbuatan baik saat lahir ke dunia,” terang psikolog lulusan Universitas Indonesia dalam inspirative talkshow Tango di Jakarta belum lama ini.

Prinsip berbagi
Sementara itu, pembicara lain, Non Rawung, menjelaskan prinsip berbagi. Menurut dia, berbagi adalah memberikan apa yang kita sukai. Apa yang berguna untuk diri kita, juga harus dirasakan oleh orang lain. Berbagi bukanlah memberikan yang sisa, melainkan memberikan yang terbaik yang kita punya,” ujar wanita asli Gorontalo ini.

Selain itu, nenek berusia 63 tahun ini pun menyatakan bahwa ada dua hal yang harus ditanamkan dalam diri setiap manusia. Pertama, menolong orang lain merupakan sebuah kesenangan. Dan kedua, menolong orang lain merupakan sebuah kehormatan, bukan beban. Dengan menanamkan dua hal tersebut, kita akan terbiasa untuk berbagi dengan orang lain. Untuk saya, berbagi dengan orang lain sudah menjadi kebutuhan dan harus selalu dilakukan,” terangnya.

Melakukan sebuah kebiasaan baik seperti berbagi tentu bukanlah perbuatan mudah. Akan banyak kendala yang menghalanginya. Orang tua harus memiliki cara jitu untuk menanamkan kebiasaan ini.

Rumus membiasakan
Ada rumus yang bisa menjadi bekal bagi para orang tua, khususnya ibu, untuk membentuk kebiasaan berbagi tersebut, yaitu niat untuk memulai dan konsistensi (habit of giving = determination start + consistency). Rumus ini diungkapkan Rustika Thamrin dalam acara yang berlangsung di Jakarta ini.

Tika, sapaan akrabnya, untuk merealisasikan kebiasaan berbagi diperlukan niat untuk memulai dan konsistensi. Tanpa keduanya, kebiasaan tersebut tidak akan pernah terwujud.

Lilis Suryani (45) adalah ibu dua anak yang telah menerapkan prinsip berbagi sejak dini kepada anak-anaknya. Saya memulai kebiasaan ini dari rumah. Saya dan suami berusaha menjadi contoh bagi mereka untuk saling berbagi terhadap sesama. Dengan begitu, mereka termotivasi untuk selalu berbuat baik kepada orang yang kurang mampu,” ungkap Lilis.

Menurut Tika, apa yang telah dilakukan Lilis merupakan hal yang tepat. Saat ini mencari orang tua yang dapat dijadikan contoh seperti itu tidaklah mudah. Terkadang orang tua hanya bisa mendoktrin anaknya untuk berbuat ini dan itu, tapi dia sendiri tidak melakukannya,” ungkap Tika.

Memperkuat tekad
Kurangnya contoh baik dari orang tua tidak menjadi satu-satunya kendala dalam menanamkan niat untuk memulai berbagi. Kendala lainnya adalah seseorang tidak akan terbiasa untuk keluar dari zona nyamannya. Selain itu, adanya hambatan keyakinan dan kesulitan bagi orang-orang yang terlibat, perasaan takut gagal, serta akan merasa citra dirinya terganggu pun menjadi kendala tersendiri. Kendala-kendala ini akan muncul di awal seseorang akan memulai kebiasaan berbagi tersebut. Bila tidak diatasi, bisa jadi orang tersebut akan mundur, dan berbagi ini tidak akan terwujud.

Untuk mengatasi kendala tersebut sebenarnya ada pada diri kita sendiri, yaitu niat yang tulus dan kuat untuk memulai (determination to start). Dengan tekad dalam diri, segala kendala akan teratasi,” jelas Tika.

Memiliki niat untuk berbagi saja tidak cukup, harus ada konsistensi yang mengiringinya. Konsistensi ini yang akan menentukan apakah berbagi dapat menjadi sebuah kebiasaan atau sekadar wacana. Sebuah konsistensi dipengaruhi besar oleh motivasi yang kuat. Motivasi yang kuat bukanlah berasal dari orang lain, melainkan berasal dari diri sendiri.

Untuk menyuburkan konsistensi berbagi, harus dimulai dari hal kecil dan mudah, serta melakukannya teratur setiap hari. Dengan begitu, kebiasaan berbagi akan menjadi sebuah kebutuhan dalam diri kita. Jika tidak melakukannya sehari saja, akan merasa kurang.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/12/m2cni3-mengajarkan-anak-berbagi-inilah-rumusnya

Tuesday, April 10, 2012

Meningkatkan Daya Konsentrasi Siswa, Inilah Caranya

REPUBLIKA.CO.ID, Belajar di kelas merupakan proses yang kompleks. Anak mesti memperhatikan guru secara penuh dan berkonsentrasi terhadap materi yang di ajarkan. Namun, kenyataannya, itulah yang paling sering lenyap ketika mereka duduk di bangku kelas.

Terdengar akrab dengan polah ananda? Cobalah melibatkan anak ke dalam aktivitas fisik. Sebuah riset yang dilakukan oleh peneliti asal Italia memantau keterkaitan antara kedua hal tersebut.

Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, peneliti memantau hasil tes uji ketajaman otak 138 anak berusia delapan hingga 11 tahun pada sejumlah kondisi. Beberapa di antaranya melibatkan aktivitas fisik dan tanpa kegiatan olah fisik.

“Para guru sering kali mengeluhkan siswanya kehilangan perhatian dan konsentrasi dalam meng ikuti instruksi akademik setelah bebe rapa saat belajar,” kata first study author Maria Chiara Gallotta dari University of Rome, Italia, seperti dikutip HealthDay News.

Kunci keberhasilan proses belajar, lanjut Gallotta, ada pada atensi dan konsentrasi. Terutama, pada masa perkembangan anak. “Aktivitas fisik menyumbang 10 poin peningkatan daya konsentrasi anak, sedangkan tes mental terkait ujian akademik sebelum ujian sesungguhnya menambah daya konsentrasi 13 persen.”

Pengamatan dilakukan selama tiga pekan. Anak-anak dijadwalkan untuk mengikuti tiga sesi ujian yang masing-masing harus dituntaskan dalam 50 menit. Sebelum menjawab soal pertama, mereka terlebih dulu melakukan sebentuk aktivitas fisik. Lalu, pada tes kedua, mereka hanya perlu mengerjakan soal akademik. Pada tes ketiga, mereka berpartisipasi dalam kegiatan fisik dan akademik.

Seluruh tes tersebut dirancang sebagai instrumen untuk memantau kemahiran mempertahankan konsentrasi sekaligus kualitas jawaban responden ciliknya. Hasilnya, anak-anak menunjukkan kinerja terbaiknya menyusul aktivitas fisik ataupun aktivitas akademik.

“Namun, mereka merosot kemampuannya ketika tes digabung,” tutur Gallotta yang penelitiannya dimuat pada edisi Maret Medicine & Science in Sports & Exercise.

Sumber :http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/10/m28z2v-meningkatkan-daya-konsentrasi-siswa-inilah-caranya

Inilah Manfaat Kegagalan Bagi Si Buah Hati

REPUBLIKA.CO.ID, Belajar memang bukan hal yang mudah. Sebegitu peliknya hingga kemudian timbul pepatah bijak, kalau gagal, coba lagi dan lagi. Ketidakberhasilan merupakan bagian alami dari proses belajar.

Tak percaya? Simaklah temuan peneliti dari University of Poitiers, Prancis. Mereka berhasil melihat adanya manfaat positif dari sebuah kegagalan. Risetnya pada anak-anak menunjukkan mereka yang pernah terpuruk tampak lebih bagus hasil tesnya. Kondisi itu tercapai setelah para siswa diajak memahami ada hikmah di balik kegagalan.

Pemahaman tersebut besar pengaruhnya pada mental siswa. Sebelumnya, anak-anak sangat terobsesi dengan kegemilangan nilai ujian. “Lantaran berorientasi pada kesuksesan, mereka menjadi segan untuk menempuh langkah berikutnya demi penguasaan materi ajar yang baru,” komentar peneliti postdoctoral, Frederique Autin.

Agar pendidikan di sekolah berlangsung lebih lancar, Autin menyarankan agar para siswa berdamai dengan rasa gamang tersebut. Faktor budaya memang memberi tekanan tersendiri dalam kasus ini. “Secara kultural, warga dunia banyak yang meyakini kesuksesan akademik hanya bisa dicapai oleh anak yang tingkat kompetensinya tinggi dan mereka yang gagal bisa dipastikan berotak lemah.”

Padahal, rasa tidak mampu mengerjakan soal baru bisa diatasi dengan mudah. Siswa hanya perlu mengakui tingkat kesulitan baru yang dihadapinya sebagai bagian dari proses belajar. “Tak perlu merasa tertekan dengan adanya pelajaran baru,” saran Autin.

Para peneliti menganjurkan agar guru dan orang tua fokus mengamati kemajuan anak. Tak perlulah memersoalkan ranking dan nilai di atas kertas. Penelitian tersebut mengindikasikan siswa akan diuntungkan dari bentuk pendidikan yang menyediakan waktu bagi anak untuk bergelut dengan soal yang tingkat kesulitannya lebih tinggi.

“Setiap tahapan belajar memerlukan waktu dan setiap kemajuan yang dicapai anak mesti dihargai, terutama di saat anak baru masuk SD dan siswa cepat atau lambat akan merasakan getirnya kegagalan,” urai Jean-Claude Croizet, profesor psikologi dari University of Poitiers, Prancis, seperti dikutip HealthDay News.

Riset tersebut berawal dengan membagi responden dalam dua kelompok anak kelas enam SD. Masing-masing diminta untuk mencari solusi dari susunan huruf. Kelompok pertama diberi pemahaman ada kalanya belajar menjadi sangat susah. Namun, itu bisa diatasi dengan sederhana.

Mereka telah beri tahu soal ujiannya mungkin susah, namun kesuksesan bukan mustahil akan datang menyusul giatnya berlatih. Sedangkan, kelompok kedua hanya mendapat pertanyaan bebas dan men ceritakan proses penemuan solusi mental yang tengah terpuruk.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/11/m2b3ef-inilah-manfaat-kegagalan-bagi-si-buah-hati

Wednesday, April 4, 2012

Anak Pertama, Haruskah Serba Pertama?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Melihat mata bening anak pertama, setiap wanita yang menjadi ibu pertama kalinya menyadari bahwa telah diberi anugerah makhluk cantik, cerdas, dengan banyak kemampuan yang pernah ada. Kehadiran anak pertama bagi orang tua--terutama yang berambisi besar dalam pendidikan--evolusi sang anak menjadi perhatian utama dari hari-ke hari.

Setiap orang tua mungkin mengalami pengalaman serupa, sehingga tidak mengejutkan jika sebuah penelitian mengungkapkan kerap kali orang tua memberi perhatian lebih besar kepada anak pertama dari adik-adiknya. Orang tua seolah memiliki misi besar dan rencana untuk membawa si pembaharu mungil agar menjadi pribadi yang paling cermelang dan berharap mereka adalah karunia.

Hanya waktu dan perkembangan anak yang akhirnya meruntuhkan harapkan itu. Bagi sebagian orang tua, kadang membutuhkan waktu 18 tahun untuk menemukan jika anak pertama mereka hanyalah satu dari anggota manusia lain, tak lebih. Banyak orang tua tak percaya atau kecewa saat mengetahui anak mereka gagal masuk universitas top, paling bergengsi di negaranya, atau mengalami kegagalan-kegagalan lain.

Hasil mengejutkan muncul dalam riset yang dilakukan Universitas College, London. Kesimpulan para ahli peneliti, anak-anak lahir pertama mendapat kemudahan dari tindakan berlebihan orang-tua yang "buta" dan itulah yang membentuk mereka.

David Lawson dan Professor Ruth Mace, yang melakukan studi terhadap 1.400 keluarga, menunjukkan adanya kemiripan proses pendidikan anak pertama dengan kebijakan warisan aristokrat di mana pemenang mengambil segalanya. Tradisi itu menyisakan saudara muda dengan hanya pilihan pada tentara, gereja, pernikahan dan karir seadanya.

Lawson dan Mace membicarakan "Ketidakberuntungan lahir kedua dan berikutnya", dan "kekurangan" dalam perawatan orang tua. Anak tertua kadang memiliki tes IQ lebih tinggi bukan karena mereka memang pintar, melainkan mereka menghabiskan banyak waktu memiliki percakapan dewasa berharga dengan orang tua.

Sebagai hasil, mereka sering menjadi anak berprestasi dengan pencapaian tinggi. Namun ada risiki laten karena di sisi lain mereka menyimpan kelelahan dari beban harapan orang tua. Depresi, sulit mengungkapkan, dan rasa kegagalan menggerogoti menjadi harga mahal untuk membayar perhatian tak seimbang itu.

Tak jarang si anak mengembangkan sikap penentangan bila dihadapkan pada situasi tesebut. Malas, bahkan menolak pergi ke sekolah, tak ingin terlibat semua organisasi dan aktivitas. Bila demikian tentu orang tua harus mulai mengubah cara pengasuhan dan melihat anak mereka pun seperti anak lain yang memiliki ketertarikan sendiri, dapat salah, dapat berhasil, namun mungkin juga gagal.

Orang tua harus menerima apa yang ingin anak lakukan dan apa yang anak inginkan terlepas dari mimpi besar orang tua. Cassandra Jardine, ahli tumbuh kembang anak sekaligus pengasuh rubrik parenting di Daily Telegraph, Inggris menuturkan, ia pun dulu begitu menekankan mimpi besarnya pada si anak pertama. Saat muncul resistensi dari sang anak, barulah timbul kesadaran bahwa sang anak memiliki hak untuk menikmati dunianya.

Bahkan suatu hari, si sulung tersebut mengatakan pada Cassandra jika ia bisa memilih ia ingin terlahir bukan sebagai anak pertama. "Lucunya orang tua kemudian menjadi lebih baik dan bijak pada pengasuhan pada anak berikut," ujar Cassandra.

Cara paling bijaksana adalah selalu menanyakan pada setiap anak, termasuk anak pertama opini mereka tanpa menghiraukan pendapat anggota keluarga lain yang lebih muda. Ketika orang tua mulai tidak menunjukkan rasa khawatir berlebih, justru--menurut penelitian-- anak-anak kian menunjukkan bakat terbaiknya.

Semakin anak-anak merasa nyaman dan bahagia, hasil sekolah mereka pun jauh dari nilai buruk, dan mereka tetap dapat melakukan banyak hal yang mereka inginkan. Itu jelas merupakan berkah bagi orang tua.

Sumber :
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: parenting.com
http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/12/04/04/m1ykk1-anak-pertama-haruskah-serba-pertama