Hari ini, 19 Februari 2011 keluarga besar KB-TKIT anak sholeh melakukan kegiatan outbound. Agendanya ke Museum Dirgantara Adisucipto dan Kebun Binatang Gembira Loka. Murid dan keluarga pendamping yang ikut telah disiapkan dengan tiga buah bis..., wah ternyata gak cukup,..., Alhamdulillah, banyak orang tua murid yang telah mengantisipasinya dengan membawa mobil pribadi.
Pemberangkatan peserta dari Halaman parkir utara KB-TKIT Anak Sholeh....
Sekitar pukul 10 pagi rombongan telah sampai di Museum Dirgantara. Kami memasuki museum dan melihat-lihat koleksi museum berupa pesawat-pesawat. Setelah kurang lebih 1 jam, kami dipandu oleh petugas museum keliling melihat-lihat koleksi, kami rehat di halaman museum. Rehat diisi oleh ibu-ibu dewan sekolah untuk mensosialisasikan lomba-lomba dalam rangka acara Family Day for Happy Family. Acara dipimpin oleh Ibu Usriyah dan Ibu Rintania.
Setelah rehat dan ramah tamah antara orang tua dan wali murid, sekitara pukul 12 rombongan bersiap untuk meneruskan perjalanan ke Kebun binatang Gembiraloka.
Acara di Kebun Binatang ...dibebaskan...untuk setiap keluarga. Diharapkan masing-masing keluarga untuk bisa lebih menghangatkan hubungan sesama anggota keluarga. Antara orang tua dan anak...yang mungkin karena kesibukan orang tua,.., jarang berjumpa dengan waktu yang luang dengan anak-anak.
Acara outbound hari itu selesai pukul 15 petang. Semoga acara outbound kali ini dapat mempererat tali silaturahim keluarga besar Anak Sholeh dan menambah pengetahuan anak-anak tentang sejarah dan teknologi pesawat terbang di indonesia....
Menuju Generasi Beriman..Berilmu..dan Beramal " Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar". (QS. 4:9).
Labels
- Aktivitas Siswa (27)
- Aktivitas Ustadz-ustadzah (3)
- Artikel Ustadz -Ustadzah (18)
- Character Education (7)
- Hikmah (14)
- Info PSB (4)
- Parenting School (18)
- Productive Muslim (6)
- Profile Lembaga (6)
Sunday, February 20, 2011
Sunday, February 13, 2011
Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (2)
Selasa, 11/01/2011 13:02 WIB
15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU ujian. Semua guru -termasuk diriku- pada sibuk beranjak dari tempat duduknya di ruang guru dan mengambil soal ujian serta kertas jawaban di meja ketua pengawas.
“Masya Allah, aku dapat mengawas di lantai 4. Bagaimana ini? Dokter melarangku terlalu capek dan naik tangga yang tinggi, apalagi sampai melangkahkan kaki hingga ke lantai 4.” Aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Dengan mengucapkan bismillah, aku tekadkan azzam dan berpikir positif bahwa aku bisa sampai ke lantai teratas itu dengan keadaan sehat dan afiat. Aku tidak boleh ragu, Karena ragu akan membuat setan mudah mempermainkan hati manusia. Tetap yakin, ridha dan tawakkal bahwa Allah selalu bersama setiap insan yang mengingat-Nya.
Alhamdulillah perlahan-lahan melangkah tapi pasti sambil berbicara dengan para guru hingga akhirnya sampai juga ke lantai 4.
Seperti biasa aku masuk ke dalam ruangan kelas dan berusaha untuk duduk dan menatap semua wajah siswa-siswa di depanku dengan wajah tenang. Tapi sayang, langit tak selamanya cerah, begitu juga suasana kelas ini berbeda jauh saat aku mengawas pada kelas pertama.
Guru sudah berada di depan kelas, siswa masih asyik lempar kertas kesana-sini, ngobrol sana-sini -ribut banget macem pasar aja-, belum lagi masih ada yang jalan sana-sini.
“Ehm..ehm...”, akhirnya aku mulai mengeluarkan suara ‘pura-pura’ batuk untuk menyindir mereka. Sebenarnya aku ingin marah sekali, tapi aku berusaha untuk sabar. Setelah itu semua siswa duduk pada tempatnya tapi tetap aja masih ribut dengan gaya duduk di kursi bak seorang preman pasar. Wanita ataupun laki-laki sama saja. Etikanya benar-benar minus banget.
Dengan tenangnya aku bertanya pada semua siswa, “Anak-anak, siapa ketua kelasnya di kelas ini untuk memimpin do’a agar segera dimulai pelaksaan ujian ini”
“Diaa... Buu.. Diaa Bu.., Diaa.. Buuuu” Jawab serempak anak-anak saling lempar tunjuk siapa ketua kelasnya.
Dengan sabar dan wajah senyum, bibir ini pun berucap,”jika tak segera dimulai nanti kalian ketinggalan waktu untuk menjawab soal”. Akhirnya ada seorang siswa mengalah dan memulai memimpin doa. Setelah itu mengucapkan salam.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” terdengar suara lantang siswa-siswa yang semangat mengucapkan salam.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya". Saat membacakan peraturan dalam kelas, masih aja ada siswa yang cerita sana-sini, sepertinya siswa tersebut tidak menganggap ada seorang guru di depan.
“Oh ya Allah, berilah hamba kekuatan dan kelapangan hati agar dapat mengatasi kenakalan remaja di kelas ini”
Aku berusaha tidak marah —walaupun dulu guruku waktu SD, SMP atau SMA sering memukul meja atau penggaris kayu yang dipukul ke papan tulis agar siswanya menjadi diam— tapi aku tidak mau melakukan hal itu pada siswa yang masih belia ini —kelas 1 SMA— karena aku teringat betapa lembutnya para rasul saat berdialog dengan kaumnya dimasa Jahiliyah. Nabi Muhammad saw sendiri saat awal berdakwah dihadapkan pada siksaan dan tindakan represif dari kaum musyrikin tapi beliau selalu menanamkan kasih sayang dan kedamaian bahkan beliau sampai mengeluarkan kata-kata yang menggugah,
“Aku tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat.” (HR. Muslim, No. 1852)
Saat ujian di mulai, semua dalam keadaan tenang. Kecuali satu siswa yang namanya masih kuingat hingga sekarang -Sarmayanta-. Dia siswa yang benar-benar sudah kelewat batas kenakalannya. Walaupun ada guru masih tetap saja mengganggu temannya untuk meminta jawaban. Ingin sekali kuusir dia agar tidak menggangu teman di sebelahnya atau dibelakangnya yang menjadi kunci jawaban baginya.
Karena udah kesal melihat sikapnya, akhirnya kupanggil namanya dengan nada cukup ramah, “Sarmayanta, sudah selesaikah menjawab soal. Kalau sudah selesai sini kumpul sama ibu lembar jawaban dan soalnya”.
“Belum buuu..”, dijawabnya dengan suara lantang dan tatapan tajam seolah-olah dia lebih hebat, lebih tua dari diriku. “Masya Allah, sabarkan hamba ya Rabb.”
Tiada cara lain, maka aku harus ambil langkah terakhir. Akhirnya kubalas tatapannya dengan tatapan lembut dan penuh senyuman di wajahku. Subhanallah, benar-benar kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Si Anak Nakal itu langsung tertunduk malu. Tiap dia menatap kepadaku —karena ingin mencari kesempatan bertanya sama temannya yang lain tentang kunci jawaban di saat-saat aku lagi menunduk atau membaca—, aku pun selalu memandangnya. Mukanya menjadi merah, menunduk, cara duduknya pun mulai berubah menghadap ke depan, bukan duduk kesamping lagi dengan kaki di atas kursi.
Alhamdulilah ya Rabb, benar-benar kedahsyatan dari kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Kalau sudah seperti ini, akhirnya kupandangi satu persatu wajah siswa-siswa yang sedang menjawab pertanyaan. Karena aku tidak mau marah, lebih baik ketika mereka bertanya ke teman yang lain aku pandangi mereka dengan wajah ramah penuh senyuman. Hal tersebut membuat mereka membalas senyumanku dan tertunduk malu. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah ketika ujian.
*senangnya diriku melihat siswaku tersenyum dengan penuh rasa cinta*
Menjelang 15 menit sebelum waktu selesai, aku memperkenalkan latar belakangku pada semua siswa -sama seperti yang kulakukan saat aku mengawas pada kelas sebelumnya. Akan tetapi, untuk siswa model seperti ini ‘bandel bin jogal’ alias ga bisa diatur, aku lebih dulu mengajak mereka bermain bersama agar pikiran mereka refresh bahwa belajar itu menyenangkan.
Mulailah aku menunjuk satu persatu siswa dengan jariku dan bertanya apa cita-cita mereka di masa depan.
“Dokter bu...”
“Orang berguna bu..”
“Guru bu...”
“Arsitek”
“Nah, kalau Sarmayanta cita-citanya apa?”, sapaku pada anak yang cukup nakal itu dengan wajah ceria dan senyum.
“Tukaang Beeeccaaakkk buuuu...”, jawabnya penuh optimis dan antusias
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”, semua siswa serempak ketawa termasuk diriku yang tersenyum mendengarnya berkata demikian. Kok bisa tukang becak dijadikan cita-cita.
Tapi selanjutnya aku berkata padanya, “Tidak apa-apa bila ingin menjadi tukang becak, asal jadi pengusahanya. Sarmayanta memiliki banyak becak yang bisa diusahakan kepada yang lain. Itu baru ya namanya cita-cita. Kerenkan, Sarmayanta bisa menjadi bos”
“Iya, benar juga yang dikatakan ibu”, kata beberapa siswa di kelas tersebut.
Semua mata tertuju padaku dengan wajah takjub. Dan kulihat senyuman terukir di wajah anak nakal itu. Alhamdulillah kubisa meraih simpatinya.
Setelah itu aku mulai memperkenalkan siapa diriku dan mereka semakin semangat.
Karena mereka ingin lulus kelak masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum seluruh siswa keluar, aku bertanya pada mereka tentang mengapa mereka harus sampai menjawab soal itu semua dengan berbagai cara. Ternyata alasannya ‘takut’ nilai rendah dan menjadi ‘tinggal kelas’. Dengan spontan dan antusias aku berkata,
“Kalian tidak akan tinggal kelas anakku. Guru kalian tidak akan buat kalian tinggal kelas hanya karena nilai rendah, yang terpenting adalah kalian selalu hadir, rajin dan tekun belajar. Nilai ibu merah untuk fisika, tapi ibu tetap semangat terus mempelajarinya. Kalian mau tau teknik agar bisa seseorang itu di banggakan guru dan kalian menjadi cerdas?”
“Mau buuuu...”, seluruh siswa jawab dengan riuh dan semangat juang yang tinggi.
“Kunci cuma satu. Berlatih. Kalian jawab semua tugas yang ada di buku. Contoh: soal matematika, fisika, dll. Jadi ketika guru bilang, kerjakan no sekian? Siapa yang bisa mengerjakannya di papan tulis akan dapat bonus nilai. Nah, karena kalian telah kerjakan di rumah, maka kalian bisa menjawabnya serta menjadi orang yang pertama maju ke depan kelas sehingga membuat guru sayang pada kalian karena kalian cerdas. Itulah sebuah usaha. Jangan lupa disertai juga dengan do’a kepada Allah swt”, aku berkata dengan penuh semangat optimis dan ramah kepada semua siswa.
Alhamdulillah, semua siswa keluar dengan tertib, hanya tinggal satu orang anak wanita sambil menunjukkan buku biologinya padaku: “Bu, tadi saya lupa pengertian tentang biokatalisator dan apa-apa saja yang dihasilkan dalam proses fotosintesis”
Dengan senyuman kujawab, “catatlah soal-soal dan jawaban yang dirasa sulit atau tidak dapat saat ujian di buku catatan kecil. Karena ini akan menjadi memori yang tidak bisa dilupakan dan lihatlah dengan jeli setiap soal itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti jenis virus, bentuk virus, jenis-jenis jamur yang biasa kita makan sehari-hari dan”.
“Makasih ya bu dan mohon do’akan saya bu agar saya kelak bisa menjadi seorang dokter”, tutur anak wanita yang manis dan cantik tersebut padaku. Sungguh aku terharu mendengar ucapannya. Walaupun cuma sehari tapi cukup mengesankan bagiku. Subhanallah.
Selanjutnya aku ke ruang guru mengantar semua berkas dan permisi kembali kepada Ketua Pengawas bahwa tugas saya selesai. Bahagia hati ini karena semua guru ikut ramah padaku dan tersenyum.
Sungguh senyum itu membawa berkah. Senyum juga mendatangkan kelembutan dan sikap ramah kepada manusia. Jiwa kan tenang. Hati menjadi tentram. Jika kita memiliki sikap itu maka dapat membuat hati yang keras menjadi lunak, manrik simpati, membawa kebaikan serta membuat nyaman orang yang berada di dekat kita.
(Selesai)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Sumber :
http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
15 menit lagi jam menunjukkan angka 10, saat dimulainya anak-anak SMU ujian. Semua guru -termasuk diriku- pada sibuk beranjak dari tempat duduknya di ruang guru dan mengambil soal ujian serta kertas jawaban di meja ketua pengawas.
“Masya Allah, aku dapat mengawas di lantai 4. Bagaimana ini? Dokter melarangku terlalu capek dan naik tangga yang tinggi, apalagi sampai melangkahkan kaki hingga ke lantai 4.” Aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri.
Dengan mengucapkan bismillah, aku tekadkan azzam dan berpikir positif bahwa aku bisa sampai ke lantai teratas itu dengan keadaan sehat dan afiat. Aku tidak boleh ragu, Karena ragu akan membuat setan mudah mempermainkan hati manusia. Tetap yakin, ridha dan tawakkal bahwa Allah selalu bersama setiap insan yang mengingat-Nya.
Alhamdulillah perlahan-lahan melangkah tapi pasti sambil berbicara dengan para guru hingga akhirnya sampai juga ke lantai 4.
Seperti biasa aku masuk ke dalam ruangan kelas dan berusaha untuk duduk dan menatap semua wajah siswa-siswa di depanku dengan wajah tenang. Tapi sayang, langit tak selamanya cerah, begitu juga suasana kelas ini berbeda jauh saat aku mengawas pada kelas pertama.
Guru sudah berada di depan kelas, siswa masih asyik lempar kertas kesana-sini, ngobrol sana-sini -ribut banget macem pasar aja-, belum lagi masih ada yang jalan sana-sini.
“Ehm..ehm...”, akhirnya aku mulai mengeluarkan suara ‘pura-pura’ batuk untuk menyindir mereka. Sebenarnya aku ingin marah sekali, tapi aku berusaha untuk sabar. Setelah itu semua siswa duduk pada tempatnya tapi tetap aja masih ribut dengan gaya duduk di kursi bak seorang preman pasar. Wanita ataupun laki-laki sama saja. Etikanya benar-benar minus banget.
Dengan tenangnya aku bertanya pada semua siswa, “Anak-anak, siapa ketua kelasnya di kelas ini untuk memimpin do’a agar segera dimulai pelaksaan ujian ini”
“Diaa... Buu.. Diaa Bu.., Diaa.. Buuuu” Jawab serempak anak-anak saling lempar tunjuk siapa ketua kelasnya.
Dengan sabar dan wajah senyum, bibir ini pun berucap,”jika tak segera dimulai nanti kalian ketinggalan waktu untuk menjawab soal”. Akhirnya ada seorang siswa mengalah dan memulai memimpin doa. Setelah itu mengucapkan salam.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” terdengar suara lantang siswa-siswa yang semangat mengucapkan salam.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya". Saat membacakan peraturan dalam kelas, masih aja ada siswa yang cerita sana-sini, sepertinya siswa tersebut tidak menganggap ada seorang guru di depan.
“Oh ya Allah, berilah hamba kekuatan dan kelapangan hati agar dapat mengatasi kenakalan remaja di kelas ini”
Aku berusaha tidak marah —walaupun dulu guruku waktu SD, SMP atau SMA sering memukul meja atau penggaris kayu yang dipukul ke papan tulis agar siswanya menjadi diam— tapi aku tidak mau melakukan hal itu pada siswa yang masih belia ini —kelas 1 SMA— karena aku teringat betapa lembutnya para rasul saat berdialog dengan kaumnya dimasa Jahiliyah. Nabi Muhammad saw sendiri saat awal berdakwah dihadapkan pada siksaan dan tindakan represif dari kaum musyrikin tapi beliau selalu menanamkan kasih sayang dan kedamaian bahkan beliau sampai mengeluarkan kata-kata yang menggugah,
“Aku tidak diutus menjadi tukang laknat. Aku diutus sebagai penyebar rahmat.” (HR. Muslim, No. 1852)
Saat ujian di mulai, semua dalam keadaan tenang. Kecuali satu siswa yang namanya masih kuingat hingga sekarang -Sarmayanta-. Dia siswa yang benar-benar sudah kelewat batas kenakalannya. Walaupun ada guru masih tetap saja mengganggu temannya untuk meminta jawaban. Ingin sekali kuusir dia agar tidak menggangu teman di sebelahnya atau dibelakangnya yang menjadi kunci jawaban baginya.
Karena udah kesal melihat sikapnya, akhirnya kupanggil namanya dengan nada cukup ramah, “Sarmayanta, sudah selesaikah menjawab soal. Kalau sudah selesai sini kumpul sama ibu lembar jawaban dan soalnya”.
“Belum buuu..”, dijawabnya dengan suara lantang dan tatapan tajam seolah-olah dia lebih hebat, lebih tua dari diriku. “Masya Allah, sabarkan hamba ya Rabb.”
Tiada cara lain, maka aku harus ambil langkah terakhir. Akhirnya kubalas tatapannya dengan tatapan lembut dan penuh senyuman di wajahku. Subhanallah, benar-benar kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Si Anak Nakal itu langsung tertunduk malu. Tiap dia menatap kepadaku —karena ingin mencari kesempatan bertanya sama temannya yang lain tentang kunci jawaban di saat-saat aku lagi menunduk atau membaca—, aku pun selalu memandangnya. Mukanya menjadi merah, menunduk, cara duduknya pun mulai berubah menghadap ke depan, bukan duduk kesamping lagi dengan kaki di atas kursi.
Alhamdulilah ya Rabb, benar-benar kedahsyatan dari kekuatan senyum itu kembali kurasakan. Kalau sudah seperti ini, akhirnya kupandangi satu persatu wajah siswa-siswa yang sedang menjawab pertanyaan. Karena aku tidak mau marah, lebih baik ketika mereka bertanya ke teman yang lain aku pandangi mereka dengan wajah ramah penuh senyuman. Hal tersebut membuat mereka membalas senyumanku dan tertunduk malu. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah ketika ujian.
*senangnya diriku melihat siswaku tersenyum dengan penuh rasa cinta*
Menjelang 15 menit sebelum waktu selesai, aku memperkenalkan latar belakangku pada semua siswa -sama seperti yang kulakukan saat aku mengawas pada kelas sebelumnya. Akan tetapi, untuk siswa model seperti ini ‘bandel bin jogal’ alias ga bisa diatur, aku lebih dulu mengajak mereka bermain bersama agar pikiran mereka refresh bahwa belajar itu menyenangkan.
Mulailah aku menunjuk satu persatu siswa dengan jariku dan bertanya apa cita-cita mereka di masa depan.
“Dokter bu...”
“Orang berguna bu..”
“Guru bu...”
“Arsitek”
“Nah, kalau Sarmayanta cita-citanya apa?”, sapaku pada anak yang cukup nakal itu dengan wajah ceria dan senyum.
“Tukaang Beeeccaaakkk buuuu...”, jawabnya penuh optimis dan antusias
“Ha ha ha ha ha ha ha ha ha”, semua siswa serempak ketawa termasuk diriku yang tersenyum mendengarnya berkata demikian. Kok bisa tukang becak dijadikan cita-cita.
Tapi selanjutnya aku berkata padanya, “Tidak apa-apa bila ingin menjadi tukang becak, asal jadi pengusahanya. Sarmayanta memiliki banyak becak yang bisa diusahakan kepada yang lain. Itu baru ya namanya cita-cita. Kerenkan, Sarmayanta bisa menjadi bos”
“Iya, benar juga yang dikatakan ibu”, kata beberapa siswa di kelas tersebut.
Semua mata tertuju padaku dengan wajah takjub. Dan kulihat senyuman terukir di wajah anak nakal itu. Alhamdulillah kubisa meraih simpatinya.
Setelah itu aku mulai memperkenalkan siapa diriku dan mereka semakin semangat.
Karena mereka ingin lulus kelak masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Sebelum seluruh siswa keluar, aku bertanya pada mereka tentang mengapa mereka harus sampai menjawab soal itu semua dengan berbagai cara. Ternyata alasannya ‘takut’ nilai rendah dan menjadi ‘tinggal kelas’. Dengan spontan dan antusias aku berkata,
“Kalian tidak akan tinggal kelas anakku. Guru kalian tidak akan buat kalian tinggal kelas hanya karena nilai rendah, yang terpenting adalah kalian selalu hadir, rajin dan tekun belajar. Nilai ibu merah untuk fisika, tapi ibu tetap semangat terus mempelajarinya. Kalian mau tau teknik agar bisa seseorang itu di banggakan guru dan kalian menjadi cerdas?”
“Mau buuuu...”, seluruh siswa jawab dengan riuh dan semangat juang yang tinggi.
“Kunci cuma satu. Berlatih. Kalian jawab semua tugas yang ada di buku. Contoh: soal matematika, fisika, dll. Jadi ketika guru bilang, kerjakan no sekian? Siapa yang bisa mengerjakannya di papan tulis akan dapat bonus nilai. Nah, karena kalian telah kerjakan di rumah, maka kalian bisa menjawabnya serta menjadi orang yang pertama maju ke depan kelas sehingga membuat guru sayang pada kalian karena kalian cerdas. Itulah sebuah usaha. Jangan lupa disertai juga dengan do’a kepada Allah swt”, aku berkata dengan penuh semangat optimis dan ramah kepada semua siswa.
Alhamdulillah, semua siswa keluar dengan tertib, hanya tinggal satu orang anak wanita sambil menunjukkan buku biologinya padaku: “Bu, tadi saya lupa pengertian tentang biokatalisator dan apa-apa saja yang dihasilkan dalam proses fotosintesis”
Dengan senyuman kujawab, “catatlah soal-soal dan jawaban yang dirasa sulit atau tidak dapat saat ujian di buku catatan kecil. Karena ini akan menjadi memori yang tidak bisa dilupakan dan lihatlah dengan jeli setiap soal itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seperti jenis virus, bentuk virus, jenis-jenis jamur yang biasa kita makan sehari-hari dan”.
“Makasih ya bu dan mohon do’akan saya bu agar saya kelak bisa menjadi seorang dokter”, tutur anak wanita yang manis dan cantik tersebut padaku. Sungguh aku terharu mendengar ucapannya. Walaupun cuma sehari tapi cukup mengesankan bagiku. Subhanallah.
Selanjutnya aku ke ruang guru mengantar semua berkas dan permisi kembali kepada Ketua Pengawas bahwa tugas saya selesai. Bahagia hati ini karena semua guru ikut ramah padaku dan tersenyum.
Sungguh senyum itu membawa berkah. Senyum juga mendatangkan kelembutan dan sikap ramah kepada manusia. Jiwa kan tenang. Hati menjadi tentram. Jika kita memiliki sikap itu maka dapat membuat hati yang keras menjadi lunak, manrik simpati, membawa kebaikan serta membuat nyaman orang yang berada di dekat kita.
(Selesai)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Sumber :
http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
Saturday, February 12, 2011
Bagaimana menjadikan Siswa Semangat Belajar (1)
Selasa, 04/01/2011 08:22 WIB
“Assalamu’alaikum adikku Evi” sapa salah satu kakakku dari majelis taklim.
“Wa’alaikum salam kak. Ada apa kak, tumben nelpon?”
“Besok ada kegiatan ngga? Kakak mau minta bantuan untuk menggantikan teman kakak sebagai pengawas ujian. Kalau evi mau nanti no HP evi kakak kasih ke beliau. Dia ada urusan yang penting” jawab kakak penuh harap cemas agar aku menyetujuinya.
Berpikir sejenak-kesempatan ini belum tentu datang untuk kedua kali, jadi harus diambil pengalaman yang bermanfaat ini demi ilmu dan wawasan, maka kuberkata padanya dengan optimis, “OK kak. Insya Allah Evi bisa!”
Setengah jam kemudian, teman kakakku itu telpon dan mengatakan besok aku mengawas ujian jam 07.25 dan sebelum jam dimulai harus hadir tepat waktu karena sekolah itu terkenal disiplin, bersih dan rapi.
Tiba sampai di yayasan tersebut, mulailah kumencari gedung mana untuk SMU, Universitas, dll. Setelah bertanya dengan pak Satpam, aku langung masuk ke gedung SMU lalu menuju ke ruangan guru. Semua terasa asing bagiku. Karena aku belum pernah merasakan menjadi seorang guru di sekolah.
Akhirnya dengan senyum manis, aku langsung menyapa, "Selamat pagi Pak, saya mau mencari Kepala Pengawas di sini. Saya adalah pengganti dari Pak Bambang (bukan nama sebenarnya)."
Wah, subhanallah ternyata kekuatan senyum, ramah tamah dan sopan santun dalam bertingkahlaku membuat saya diterima dengan baik dan dihormati ibu dan bapak guru di sekolah tersebut. Mereka pun langsung ajak berbicara dan mulailah bercakap-cakap antara sesama guru tentang perilaku siswanya, kondisi jalan macet akibat maraknya penduduk ikut CPNS Daerah, serta ada yang ngobrol sambil baca koran.
Jadi ingat sebuah hadist Rasulullah SAW yaitu Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain." (HR Muslim).
Tiba-tiba ada seorang ibu menyapaku : ‘Ibu, istrinya pak Bambang ya?”
Dengan wajah terkejut dan spontan aku langsung jawab : “Bukan Bu, saya temannya yang menggantikannya sementara”.
“Ada-ada aja, dakukan masih single alias belum menikah hehehe..”, jawabku dalam hati sampai tersenyum kepada ibu bapak di ruangan tersebut.
***
Ketika mulai naik lantai dua dan mulai mengawas. Ada keunikan terjadi. Yang pasti pada awal-awal pertemuan Evi panggil mereka dengan sebutan ‘Adek’, seharusnya kan ‘ibu dan anak’. ^_^. Yah begitulah jika kita belum membiasakan diri menjadi seorang guru.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” riuh suara serempak anak-anak yang sangat panjang. Saya langsung tersipu grogi dan membalas salam mereka dengan wajah senyum ceria. Lalu berdo’a.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya.."
Setelah soal dan kertas jawaban dibagikan. Ada seorang siswa mengacungkan jarinya dan berkata: “Bu, soal nomor 21 nggak ada pertanyaannya”
“Ya dek, ntar ibu keluar dulu akan ibu tanyakan ke dosen, ehh guru di sini”, wah seperti biasa siswa senang aja jika gurunya meninggalkan ruangan. Tapi terlintas baru sadar, “kenapa tadi aku panggil ‘dek’ ya?” :D
Ujian pun berlangsung dengan suasana sunyi senyap. Ketika 15 menit sebelum dikumpul kertas jawaban, Evi ingati siswa-siswa untuk periksa ulang kertas jawaban-apaakah sudah terisi semua dengan baik atau tidak. Sepintas mulailah mulut ini bercerita dan menyampaikan wejangan pagi hari di depan murid kelas dua.
“Sebenarnya tadi ibu tahu kalian banyak tanya sana sini, tapi apa manfaatnya buat masa depan kalian. Tidak ada kan. Sebelumnya, Ibu ingin memperkenalkan diri, Ibu disini adalah pengganti guru sementara kalian—Pak Bambang. Ibu baru lulus dari UI jurusan teknik elektro dan saat ini sedang menempuh S2 —pascasarjana USU— jurusan teknik elektro juga.
“Wahhhh...” Wajah anak-anak terlihat takjub saat kuceritakan latar belakangku karena mereka juga ingin masuk perguruan tinggi favourite mereka masing-masing. Sesaat kemudian mereka langsung menunduk dan diam seperti sedang merenungi sebuah impian masa depan.
“Siswa-siswaku, jika kalian tanya ibu tentang pelajaran Biologi, insya Allah ibu masih kuasai. Soal-soal yang kalian jawab itu, juga ibu masih bisa jawab dan menjelaskannya seperti tentang simbiosis, mitosis, virus, spora, ilmu genetika, dll. Semua itu ibu masih ingat. Anak-anakku mau tau resepnya apa?”
“Mau.. Mau.. Buuuuuuu...” , jawab seluruh murid dengan antusias.
“Karena ibu saat sekolah dulu memahami ilmu dan konsepnya. Ibu paham i pelajaran tersebut. Jadi sampai kapanpun, berapa pun usia kita, kita masih ingat di buku apa, halaman berapa? Walaupun jurusan ibu fisika. Apakah kalian takut nilai rendah? Dulu nilai fisika ibu selalu merah tapi mengapa ibu bisa ambil jurusan elektro yang sebagian besar adalah fisika karena ibu merasa ‘tertantang’ untuk mendalami ilmu tersebut dan ada keinginan untuk terus belajar serta bertanya pada orang yang tahu.
Sering-sering berdiskusi siswaku. Hanya satu pesan ibu, janganlah kalian pelit ilmu sama teman kalian sendiri. Karena ilmu itu adalah sinar yang akan terus menerangi. Semakin banyak kalian memberikan ilmu, maka semakin banyak pula ilmu kalian. Selain ilmu kalian mau pahala juga kan yang akan mengalir terus menerus dari Allah?”
“Mau Buuuuu”, semua murid-murid menjawab serempak dengan suara cukup keras dan wajah ceria setelah mendengar cerita itu.
“Tapi ibu besok ngawas lagi kan” kata beberapa orang anak kepadaku
“Alhamdulillah, besok ibu tidak mengawas lagi.”
Selintas kumelihat wajah sedih mereka. “Betapa mereka ini sebenarnya adalah generasi yang cerdas dan bercahaya apabila dididik dengan pola yang benar. Mereka adalah generasi LUAR BIASA jika guru meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah yang terbaik.”
Tak terasa bel berbunyi. Semuanya pulang dengan tertib dan menyalamiku layaknya seorang anak kepada ibu kandungnya. Senangnya kumelihat mereka.
Sembari salam, ada beberapa anak yang berucap, “Ibu, aku ingin jadi seperti Ibu. Doakan aku ya bu.”
Terharu batinku mendengar ucapan yang keluar dari anak-anak yang masih muda itu. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
(bersambung, insya Alloh)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Sumber :
http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
“Assalamu’alaikum adikku Evi” sapa salah satu kakakku dari majelis taklim.
“Wa’alaikum salam kak. Ada apa kak, tumben nelpon?”
“Besok ada kegiatan ngga? Kakak mau minta bantuan untuk menggantikan teman kakak sebagai pengawas ujian. Kalau evi mau nanti no HP evi kakak kasih ke beliau. Dia ada urusan yang penting” jawab kakak penuh harap cemas agar aku menyetujuinya.
Berpikir sejenak-kesempatan ini belum tentu datang untuk kedua kali, jadi harus diambil pengalaman yang bermanfaat ini demi ilmu dan wawasan, maka kuberkata padanya dengan optimis, “OK kak. Insya Allah Evi bisa!”
Setengah jam kemudian, teman kakakku itu telpon dan mengatakan besok aku mengawas ujian jam 07.25 dan sebelum jam dimulai harus hadir tepat waktu karena sekolah itu terkenal disiplin, bersih dan rapi.
Tiba sampai di yayasan tersebut, mulailah kumencari gedung mana untuk SMU, Universitas, dll. Setelah bertanya dengan pak Satpam, aku langung masuk ke gedung SMU lalu menuju ke ruangan guru. Semua terasa asing bagiku. Karena aku belum pernah merasakan menjadi seorang guru di sekolah.
Akhirnya dengan senyum manis, aku langsung menyapa, "Selamat pagi Pak, saya mau mencari Kepala Pengawas di sini. Saya adalah pengganti dari Pak Bambang (bukan nama sebenarnya)."
Wah, subhanallah ternyata kekuatan senyum, ramah tamah dan sopan santun dalam bertingkahlaku membuat saya diterima dengan baik dan dihormati ibu dan bapak guru di sekolah tersebut. Mereka pun langsung ajak berbicara dan mulailah bercakap-cakap antara sesama guru tentang perilaku siswanya, kondisi jalan macet akibat maraknya penduduk ikut CPNS Daerah, serta ada yang ngobrol sambil baca koran.
Jadi ingat sebuah hadist Rasulullah SAW yaitu Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah SAW berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain." (HR Muslim).
Tiba-tiba ada seorang ibu menyapaku : ‘Ibu, istrinya pak Bambang ya?”
Dengan wajah terkejut dan spontan aku langsung jawab : “Bukan Bu, saya temannya yang menggantikannya sementara”.
“Ada-ada aja, dakukan masih single alias belum menikah hehehe..”, jawabku dalam hati sampai tersenyum kepada ibu bapak di ruangan tersebut.
***
Ketika mulai naik lantai dua dan mulai mengawas. Ada keunikan terjadi. Yang pasti pada awal-awal pertemuan Evi panggil mereka dengan sebutan ‘Adek’, seharusnya kan ‘ibu dan anak’. ^_^. Yah begitulah jika kita belum membiasakan diri menjadi seorang guru.
“Beri salam sama Bu Guru. Assalaaaaaamu’alaikum warahmatullaaaaaaaahi wabarakaaaaaaaaatuh,” riuh suara serempak anak-anak yang sangat panjang. Saya langsung tersipu grogi dan membalas salam mereka dengan wajah senyum ceria. Lalu berdo’a.
"Baiklah, ibu akan membacakan peraturan dalam ujian ini ya.."
Setelah soal dan kertas jawaban dibagikan. Ada seorang siswa mengacungkan jarinya dan berkata: “Bu, soal nomor 21 nggak ada pertanyaannya”
“Ya dek, ntar ibu keluar dulu akan ibu tanyakan ke dosen, ehh guru di sini”, wah seperti biasa siswa senang aja jika gurunya meninggalkan ruangan. Tapi terlintas baru sadar, “kenapa tadi aku panggil ‘dek’ ya?” :D
Ujian pun berlangsung dengan suasana sunyi senyap. Ketika 15 menit sebelum dikumpul kertas jawaban, Evi ingati siswa-siswa untuk periksa ulang kertas jawaban-apaakah sudah terisi semua dengan baik atau tidak. Sepintas mulailah mulut ini bercerita dan menyampaikan wejangan pagi hari di depan murid kelas dua.
“Sebenarnya tadi ibu tahu kalian banyak tanya sana sini, tapi apa manfaatnya buat masa depan kalian. Tidak ada kan. Sebelumnya, Ibu ingin memperkenalkan diri, Ibu disini adalah pengganti guru sementara kalian—Pak Bambang. Ibu baru lulus dari UI jurusan teknik elektro dan saat ini sedang menempuh S2 —pascasarjana USU— jurusan teknik elektro juga.
“Wahhhh...” Wajah anak-anak terlihat takjub saat kuceritakan latar belakangku karena mereka juga ingin masuk perguruan tinggi favourite mereka masing-masing. Sesaat kemudian mereka langsung menunduk dan diam seperti sedang merenungi sebuah impian masa depan.
“Siswa-siswaku, jika kalian tanya ibu tentang pelajaran Biologi, insya Allah ibu masih kuasai. Soal-soal yang kalian jawab itu, juga ibu masih bisa jawab dan menjelaskannya seperti tentang simbiosis, mitosis, virus, spora, ilmu genetika, dll. Semua itu ibu masih ingat. Anak-anakku mau tau resepnya apa?”
“Mau.. Mau.. Buuuuuuu...” , jawab seluruh murid dengan antusias.
“Karena ibu saat sekolah dulu memahami ilmu dan konsepnya. Ibu paham i pelajaran tersebut. Jadi sampai kapanpun, berapa pun usia kita, kita masih ingat di buku apa, halaman berapa? Walaupun jurusan ibu fisika. Apakah kalian takut nilai rendah? Dulu nilai fisika ibu selalu merah tapi mengapa ibu bisa ambil jurusan elektro yang sebagian besar adalah fisika karena ibu merasa ‘tertantang’ untuk mendalami ilmu tersebut dan ada keinginan untuk terus belajar serta bertanya pada orang yang tahu.
Sering-sering berdiskusi siswaku. Hanya satu pesan ibu, janganlah kalian pelit ilmu sama teman kalian sendiri. Karena ilmu itu adalah sinar yang akan terus menerangi. Semakin banyak kalian memberikan ilmu, maka semakin banyak pula ilmu kalian. Selain ilmu kalian mau pahala juga kan yang akan mengalir terus menerus dari Allah?”
“Mau Buuuuu”, semua murid-murid menjawab serempak dengan suara cukup keras dan wajah ceria setelah mendengar cerita itu.
“Tapi ibu besok ngawas lagi kan” kata beberapa orang anak kepadaku
“Alhamdulillah, besok ibu tidak mengawas lagi.”
Selintas kumelihat wajah sedih mereka. “Betapa mereka ini sebenarnya adalah generasi yang cerdas dan bercahaya apabila dididik dengan pola yang benar. Mereka adalah generasi LUAR BIASA jika guru meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah yang terbaik.”
Tak terasa bel berbunyi. Semuanya pulang dengan tertib dan menyalamiku layaknya seorang anak kepada ibu kandungnya. Senangnya kumelihat mereka.
Sembari salam, ada beberapa anak yang berucap, “Ibu, aku ingin jadi seperti Ibu. Doakan aku ya bu.”
Terharu batinku mendengar ucapan yang keluar dari anak-anak yang masih muda itu. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
(bersambung, insya Alloh)
***
Semoga kisah true story saya ini memberi hikmah bagi kita semua khususnya para Guru maupun para ibu yang akan membimbing anaknya menjadi generasi cerdas dan bertakwa.
Evi Andriani
Sumber :
http://www.eramuslim.com/kisah/evi-andriani-the-power-of-smile-bagaimana-menjadikan-siswa-semangat-belajar-tahap-2.htm
Friday, February 11, 2011
Pendidikan Karakter : Hikmah
Oleh : Nur Faizin M
Pada dasarnya manusia dilahirkan memiliki karakter yang fitrah. Rasulallah SAW bersabda, "Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah." (HR Bukhari Muslim). Allah SWT juga menegaskan bahwa setiap jiwa manusia telah berjanji untuk beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Firman Allah: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): `Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: `Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'."(QS al-A`raf [7]: 172)
Namun, fitrah manusia tidak selamanya dapat dijaga sehingga setiap Muslim dapat menjadi pribadi-pribadi yang bersih dan jujur serta berakhlak karimah. Kemurnian fitrah manusia dapat dengan mudah terkontaminasi oleh pendidikan yang diberikan orang tua, masyarakat sekitar, dan bahkan sistem yang mendukung seseorang menjadi pribadi yang kehilangan karakternya.
Pribadi-pribadi yang kehilangan fitrahnya akan membentuk komunitas yang tidak berkarakter; mereka akan menjadi masyarakat jahiliyah dan cenderung plagiasi. Dalam konteks seperti itulah Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang jahiliyah yang hidupnya hanya mengikuti nenek moyang mereka yang tersesat dan menyembah berhala.
Rasulallah SAW mulai mendidik karakter jahiliyah masyarakat Arab waktu itu dengan meluruskan ideologi atau keyakinannya. Beliau meluruskan kemusyrikan mereka dengan paradigma tauhid, yaitu meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah dan menjadi tujuan hidup seluruh manusia di muka bumi. Karakter tauhid inilah yang menjadi landasan pendidikan karakter yang diajarkan oleh Rasulallah SAW dalam seluruh ajaran-ajarannya. Syariat atau aturan serta undang-undang tidak serta-merta diterapkan oleh Rasulallah SAW. Undang-undang atau sistem yang tidak dilandasi oleh ideologi atau paradigma yang lurus pasti tidak efektif. Oleh sebab itu, Rasulallah SAW baru mendirikan suatu komunitas setelah beliau mampu mendidik generasi Muhajirin dan Anshar yang berkarakter di Madinah.
Pendidikan karakter yang terpenting adalah pendidikan moral dan etika. Rasulallah SAW sendiri pun menegaskan hal itu dalam sabdanya, "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah." (HR Ahmad dan yang lain). Menumbuhkan kembali akhlak karimah haruslah menjadi kompetensi dalam proses pendidikan karakter setiap bangsa.
Strategi Rasulullah SAW tersebut patut dijadikan teladan oleh bangsa kita. Tanpa paradigma yang tepat tentang hidup dan tujuannya, undang-undang dan sistem apa pun yang dibuat menjadi sia-sia belaka. Kita semestinya mampu menjaga kemurnian karakter, meluruskannya jika salah, membentuk sistem yang tidak merusaknya, serta mengawasinya dengan sebaik-baiknya. Wallahu a`lam. (Dimuat di Republika)
Sumber :
Kamis, 13 Januari 2011, 07:49 WIB
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah
Pada dasarnya manusia dilahirkan memiliki karakter yang fitrah. Rasulallah SAW bersabda, "Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah." (HR Bukhari Muslim). Allah SWT juga menegaskan bahwa setiap jiwa manusia telah berjanji untuk beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Firman Allah: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): `Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: `Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'."(QS al-A`raf [7]: 172)
Namun, fitrah manusia tidak selamanya dapat dijaga sehingga setiap Muslim dapat menjadi pribadi-pribadi yang bersih dan jujur serta berakhlak karimah. Kemurnian fitrah manusia dapat dengan mudah terkontaminasi oleh pendidikan yang diberikan orang tua, masyarakat sekitar, dan bahkan sistem yang mendukung seseorang menjadi pribadi yang kehilangan karakternya.
Pribadi-pribadi yang kehilangan fitrahnya akan membentuk komunitas yang tidak berkarakter; mereka akan menjadi masyarakat jahiliyah dan cenderung plagiasi. Dalam konteks seperti itulah Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang jahiliyah yang hidupnya hanya mengikuti nenek moyang mereka yang tersesat dan menyembah berhala.
Rasulallah SAW mulai mendidik karakter jahiliyah masyarakat Arab waktu itu dengan meluruskan ideologi atau keyakinannya. Beliau meluruskan kemusyrikan mereka dengan paradigma tauhid, yaitu meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah dan menjadi tujuan hidup seluruh manusia di muka bumi. Karakter tauhid inilah yang menjadi landasan pendidikan karakter yang diajarkan oleh Rasulallah SAW dalam seluruh ajaran-ajarannya. Syariat atau aturan serta undang-undang tidak serta-merta diterapkan oleh Rasulallah SAW. Undang-undang atau sistem yang tidak dilandasi oleh ideologi atau paradigma yang lurus pasti tidak efektif. Oleh sebab itu, Rasulallah SAW baru mendirikan suatu komunitas setelah beliau mampu mendidik generasi Muhajirin dan Anshar yang berkarakter di Madinah.
Pendidikan karakter yang terpenting adalah pendidikan moral dan etika. Rasulallah SAW sendiri pun menegaskan hal itu dalam sabdanya, "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah." (HR Ahmad dan yang lain). Menumbuhkan kembali akhlak karimah haruslah menjadi kompetensi dalam proses pendidikan karakter setiap bangsa.
Strategi Rasulullah SAW tersebut patut dijadikan teladan oleh bangsa kita. Tanpa paradigma yang tepat tentang hidup dan tujuannya, undang-undang dan sistem apa pun yang dibuat menjadi sia-sia belaka. Kita semestinya mampu menjaga kemurnian karakter, meluruskannya jika salah, membentuk sistem yang tidak merusaknya, serta mengawasinya dengan sebaik-baiknya. Wallahu a`lam. (Dimuat di Republika)
Sumber :
Kamis, 13 Januari 2011, 07:49 WIB
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Hikmah
Anak Sholeh (SDIT) News : Proposal pendirian Sekolah Alam
Insyaallah, SDIT Anak Sholeh dengan konsep alam akan dimulai pada tahun ini. Mohon do'a dari Bapak/Ibu/ Sdr/i semua. Semoga Allah selalu membimbing kami dalam menemani dan memfasilitasi proses belajar mengajar pada nantinya.
Rabbanaa atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqinaa adzaabannaar
“O Lord, give us a good in this world and a good in the hereafter, and save us from the torment of fire “ Amin.
Thursday, February 10, 2011
Anak Jadi Autis ? : Berlebihan memanfaatkan IT
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--
Anak yang hidup di era kemajuan informasi teknologi (IT) membawa dampak buruk bagi terciptanya kualitas hubungan intrapersonal dengan orang lain. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto menyatakan, anak sekarang lebih senang memanfaatkan teknologi jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter untuk berkomunikasi dengan orang tua hingga teman sekolah maupun bermain.
"Karena senang memanfaatkan teknologi secara berlebihan maka anak-anak zaman sekarang dalam berkomunikasi tak suka lagi bertatap muka dan bertemu langsung. Tapi, memanfaatkan teknologi jejaring sosial," kata Suyanto saat menutup acara The Second Science Camp SMP RSBI 2011 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Kamis (13/1).
Menurut Suyanto, dampak buruk yang terjadi adalah anak jadi kurang bergaul dan hubungan emosional dengan orang tua tak terbentuk dengan baik. Akibatnya tercipta generasi anak-anak yang hidup dengan dunianya sendiri dan acuh terhadap lingkungan sekitarnya. "Anak jadi 'autis' alias hidup di dunianya sendiri. Hubungan dengan ibunya jadi kurang baik sebab jarang tercipta komunikasi secara langsung," ujar dia.
Suyanto berpesan agar guru maupun orang tua mau berperan lebih besar dengan mengambil alih peran perangkat IT untuk mendidik anak-anak agar berkembang dengan normal. Jika tidak, sambung dia, perkembangannnya nanti saat dewasa bisa terganggu dan orang tua bisa kehilangan kendali saat mendidik buah hatinya.
"Anak harus diajarkan untuk memanfaatkan perkembangan TI dengan baik. Sehingga anak bisa tumbuh berkembang dengan baik," jelas Suyanto
Sumber : www.republika.co.id, Kamis, 13 Januari 2011, 10:35 WIB
Anak yang hidup di era kemajuan informasi teknologi (IT) membawa dampak buruk bagi terciptanya kualitas hubungan intrapersonal dengan orang lain. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto menyatakan, anak sekarang lebih senang memanfaatkan teknologi jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter untuk berkomunikasi dengan orang tua hingga teman sekolah maupun bermain.
"Karena senang memanfaatkan teknologi secara berlebihan maka anak-anak zaman sekarang dalam berkomunikasi tak suka lagi bertatap muka dan bertemu langsung. Tapi, memanfaatkan teknologi jejaring sosial," kata Suyanto saat menutup acara The Second Science Camp SMP RSBI 2011 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Kamis (13/1).
Menurut Suyanto, dampak buruk yang terjadi adalah anak jadi kurang bergaul dan hubungan emosional dengan orang tua tak terbentuk dengan baik. Akibatnya tercipta generasi anak-anak yang hidup dengan dunianya sendiri dan acuh terhadap lingkungan sekitarnya. "Anak jadi 'autis' alias hidup di dunianya sendiri. Hubungan dengan ibunya jadi kurang baik sebab jarang tercipta komunikasi secara langsung," ujar dia.
Suyanto berpesan agar guru maupun orang tua mau berperan lebih besar dengan mengambil alih peran perangkat IT untuk mendidik anak-anak agar berkembang dengan normal. Jika tidak, sambung dia, perkembangannnya nanti saat dewasa bisa terganggu dan orang tua bisa kehilangan kendali saat mendidik buah hatinya.
"Anak harus diajarkan untuk memanfaatkan perkembangan TI dengan baik. Sehingga anak bisa tumbuh berkembang dengan baik," jelas Suyanto
Sumber : www.republika.co.id, Kamis, 13 Januari 2011, 10:35 WIB
Wednesday, February 9, 2011
Sekolah Manusia
Artikel ini diambil dari tulisan Munif Chatib di Jawa Pos, 22 Oktober 2009
KEBERHASILAN pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan di negara tercinta ini. Singkatnya, apabila mikro sekolah tersebut unggul, dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia, akan terdongkrak menjadi unggul pula.
Menurut penulis, akan lebih baik apabila istilah ”sekolah unggul” diubah menjadi ”sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.
Indikator sekolah manusia adalah:
Character Building
Manusia hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan rohani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi pendidikan terhadap dua dimensi tersebut tidak seimbang, terutama minim pada dimensi rohani, akan terjadi ”bencana akhlak”. Tidak ada lagi makhluk yang bernama kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, saling menghargai, dan lain-lain.
Character building (CB) adalah bidang studi yang memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan CB sebagai bidang studi. Yang ada, materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah dalam bidang studi agama.
Agent of Change
Sekolah mestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya sudah luntur. Bahkan, sudah merasuk ke paradigma masyarakat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa yang pandai dan baik-baik. Sekolah ”jeblok” adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa bodoh dan nakal-nakal atau anak buangan.
Sekolah yang favorit atau unggul cenderung tidak menerima siswa-siswa yang bermasalah. Mereka lebih suka berendam pada ”zona nyaman” yaitu the best input. Pada saat penulis menerapkan sistem penerimaan siswa baru di sebuah sekolah tanpa tes masuk, namun tergantung pada jumlah kursi yang tersedia, kepala sekolahnya dengan tidak yakin bertanya, ”Bagaimana nanti kalau kita dapat murid bodoh-bodoh dan nakal-nakal.”
Penulis menjawab, ”Bukan mestinya sebuah sekolah dibangun untuk memintarkan anak yang bodoh dan membaikkan anak yang nakal? Harus jadi agent of change!” Dengan menerapkan Multiple Intelligence Research kepada setiap siswa pada setiap tahun, ternyata tidak ada siswa yang bodoh. Setiap siswa mempunyai kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan harus dihargai.
The Best Process
Konsekuensi agent of change adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah itu harus terbaik. Pembelajaran yang masuk memori jangka panjang siswanya dan tidak akan lupa seumur hidup. Namun, kenyataannya, yang banyak adalah begitu guru menyelesaikan jam pelajaran, maka hilang juga ilmu yang diajarkan.
Proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa.
The Best Teacher
Konsekuensi the best process adalah the best teacher. Kali ini kualitas guru yang dipertanyakan. Beberapa survei menunjukkan kualitas guru di Indonesia masih belum dikatakan baik.
Guru yang baik berperan sebagai fasilitator. Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.
Guru yang baik berperan sebagai katalisator, yaitu terus berusaha memantik kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”lamban” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.
Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.
Applied Learning
Konten pembelajaran mulai jenjang sekolah dasar sampai seterusnya seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran jangan sampai dijadikan ”terpisah”, tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Minimal, peserta didik memahami manfaat materi pembelajaran.
Yang banyak terjadi, banyak siswa tidak mamahami untuk apa sebuah materi diajarkan oleh guru. Dalam sebuah seminar guru yang dihadiri hampir 700 guru TK sampai SMA, penulis bertanya tentang materi ”pohon faktor”, hampir semua guru dapat menjawab semua soal, namun ketika ditanya untuk apa ”pohon faktor” itu, sebagian besar mereka tidak tahu.
Manajemen Sekolah
Dalam sebuah pelatihan manajemen sekolah yang khusus diikuti ratusan penyelenggara atau pemilik sekolah swasta seluruh Indonesia pada 2007, dapat disimpulkan betapa kurangnya pemahaman mereka terhadap manajemen sekolah yang baik. Padahal, manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan sumber manusia tingkat tinggi, sangat kompleks, dan dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk mengelolanya.
Penulis sering menganalogikan manajemen sekolah itu seperti seekor burung merpati putih yang mempunyai dua sayap dan terbang ke sebuah tujuan sangkar kehidupan yang mulia. Sayap pertama adalah context system, yaitu penyelenggara pendidikan, dan sayap kedua adalah content system, yaitu kepala sekolah dan guru.
Mana mungkin merpati itu akan terbang sampai tujuan apabila salah satu sayapnya patah dan tidak dapat bekerja sama. Namun, alangkah cantiknya kalau kepakan sayapnya harmonis. Insya Allah sekolah tersebut akan menjadi the best school dan membawa semua siswanya ke sebuah tujuan yang menjadikan lulusannya manusia yang mempunyai benefiditas dalam hidupnya. (*)
*). Munif Chatib, konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia
KEBERHASILAN pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan di negara tercinta ini. Singkatnya, apabila mikro sekolah tersebut unggul, dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia, akan terdongkrak menjadi unggul pula.
Menurut penulis, akan lebih baik apabila istilah ”sekolah unggul” diubah menjadi ”sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.
Indikator sekolah manusia adalah:
Character Building
Manusia hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan rohani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi pendidikan terhadap dua dimensi tersebut tidak seimbang, terutama minim pada dimensi rohani, akan terjadi ”bencana akhlak”. Tidak ada lagi makhluk yang bernama kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, saling menghargai, dan lain-lain.
Character building (CB) adalah bidang studi yang memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan CB sebagai bidang studi. Yang ada, materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah dalam bidang studi agama.
Agent of Change
Sekolah mestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya sudah luntur. Bahkan, sudah merasuk ke paradigma masyarakat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa yang pandai dan baik-baik. Sekolah ”jeblok” adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa bodoh dan nakal-nakal atau anak buangan.
Sekolah yang favorit atau unggul cenderung tidak menerima siswa-siswa yang bermasalah. Mereka lebih suka berendam pada ”zona nyaman” yaitu the best input. Pada saat penulis menerapkan sistem penerimaan siswa baru di sebuah sekolah tanpa tes masuk, namun tergantung pada jumlah kursi yang tersedia, kepala sekolahnya dengan tidak yakin bertanya, ”Bagaimana nanti kalau kita dapat murid bodoh-bodoh dan nakal-nakal.”
Penulis menjawab, ”Bukan mestinya sebuah sekolah dibangun untuk memintarkan anak yang bodoh dan membaikkan anak yang nakal? Harus jadi agent of change!” Dengan menerapkan Multiple Intelligence Research kepada setiap siswa pada setiap tahun, ternyata tidak ada siswa yang bodoh. Setiap siswa mempunyai kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan harus dihargai.
The Best Process
Konsekuensi agent of change adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah itu harus terbaik. Pembelajaran yang masuk memori jangka panjang siswanya dan tidak akan lupa seumur hidup. Namun, kenyataannya, yang banyak adalah begitu guru menyelesaikan jam pelajaran, maka hilang juga ilmu yang diajarkan.
Proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa.
The Best Teacher
Konsekuensi the best process adalah the best teacher. Kali ini kualitas guru yang dipertanyakan. Beberapa survei menunjukkan kualitas guru di Indonesia masih belum dikatakan baik.
Guru yang baik berperan sebagai fasilitator. Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.
Guru yang baik berperan sebagai katalisator, yaitu terus berusaha memantik kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”lamban” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.
Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.
Applied Learning
Konten pembelajaran mulai jenjang sekolah dasar sampai seterusnya seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran jangan sampai dijadikan ”terpisah”, tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Minimal, peserta didik memahami manfaat materi pembelajaran.
Yang banyak terjadi, banyak siswa tidak mamahami untuk apa sebuah materi diajarkan oleh guru. Dalam sebuah seminar guru yang dihadiri hampir 700 guru TK sampai SMA, penulis bertanya tentang materi ”pohon faktor”, hampir semua guru dapat menjawab semua soal, namun ketika ditanya untuk apa ”pohon faktor” itu, sebagian besar mereka tidak tahu.
Manajemen Sekolah
Dalam sebuah pelatihan manajemen sekolah yang khusus diikuti ratusan penyelenggara atau pemilik sekolah swasta seluruh Indonesia pada 2007, dapat disimpulkan betapa kurangnya pemahaman mereka terhadap manajemen sekolah yang baik. Padahal, manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan sumber manusia tingkat tinggi, sangat kompleks, dan dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk mengelolanya.
Penulis sering menganalogikan manajemen sekolah itu seperti seekor burung merpati putih yang mempunyai dua sayap dan terbang ke sebuah tujuan sangkar kehidupan yang mulia. Sayap pertama adalah context system, yaitu penyelenggara pendidikan, dan sayap kedua adalah content system, yaitu kepala sekolah dan guru.
Mana mungkin merpati itu akan terbang sampai tujuan apabila salah satu sayapnya patah dan tidak dapat bekerja sama. Namun, alangkah cantiknya kalau kepakan sayapnya harmonis. Insya Allah sekolah tersebut akan menjadi the best school dan membawa semua siswanya ke sebuah tujuan yang menjadikan lulusannya manusia yang mempunyai benefiditas dalam hidupnya. (*)
*). Munif Chatib, konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia
SDIT Anak Sholeh News : Pembangunan gedung
Bismillahirrahmanirrahim....
pada tanggal 22 Januari 2011 dilakukan penandatanganan pembangunan antara panitia pendirian SDIT Anak Sholeh Sedayu dengan pihak pemborong. Dari SDIT diwakili oleh Bapak Anton Yudhana selaku ketua penitia. Dari pemborong diwakili oleh Bapak Asmoyo.
Penandatanganan perjanjian oleh Anton Yudhana,S.T., M.T., Ph.D di ruang administrasi TKIT Anak Sholeh.
Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 2011, proses pengukuran rencana bangunan 2 kelas dan 2 kamar mandi segera dilakukan.
Tak lupa dari tim pendirian SDIT dan ketua proyek, berfoto bersama dahulu dengan sesepuh sekaligus pemilik tanah dari TKIT Anak Sholeh, Mbah Dimyati.
Setelah dua minggu pengerjaan,.., dua kelas untuk ruang kelas 1 sudah mulai nampak. Pelan...tapi pasti,..., insyaallah, akhir bulan maret 2011 pembangunan ruang kelas dan kamar mandi segera selesai.
pada tanggal 22 Januari 2011 dilakukan penandatanganan pembangunan antara panitia pendirian SDIT Anak Sholeh Sedayu dengan pihak pemborong. Dari SDIT diwakili oleh Bapak Anton Yudhana selaku ketua penitia. Dari pemborong diwakili oleh Bapak Asmoyo.
Penandatanganan perjanjian oleh Anton Yudhana,S.T., M.T., Ph.D di ruang administrasi TKIT Anak Sholeh.
Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 2011, proses pengukuran rencana bangunan 2 kelas dan 2 kamar mandi segera dilakukan.
Tak lupa dari tim pendirian SDIT dan ketua proyek, berfoto bersama dahulu dengan sesepuh sekaligus pemilik tanah dari TKIT Anak Sholeh, Mbah Dimyati.
Setelah dua minggu pengerjaan,.., dua kelas untuk ruang kelas 1 sudah mulai nampak. Pelan...tapi pasti,..., insyaallah, akhir bulan maret 2011 pembangunan ruang kelas dan kamar mandi segera selesai.
Subscribe to:
Posts (Atom)